Oleh: Muhammad Nasri
Dini
Warga
Muhammadiyah beberapa tahun terakhir ini akrab dengan kata “berkemajuan”. Karena
memasuki abad kedua perjalanan dakwah Muhammadiyah, gerakan ini memang mengusung
jargon “Islam berkemajuan” atau “Islam yang berkemajuan”. Hal ini juga tersurat
pada tema yang diangkat dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 3-7 Agustus
2015 lalu, yaitu “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”.
Ketua Umum PP
Muhammadiyah periode 2015-2020 Dr. H. Haedar Nashir, M.Si dalam tulisan berjudul
“Muhammadiyah Gerakan Islam Berkemajuan” yang dimuat pada Majalah Tabligh no.
1/XIV Februari 2016 mengungkapkan bahwa perspektif Islam berkemajuan merupakan
cara pandang dalam mengaktualisasi Islam yang lahir dari rahim sejarah
Muhammadiyah sendiri, yaitu ide-ide kemajuan yang diperkenalkan oleh KH. Ahmad
Dahlan dan sejalan dengan ajaran Islam dalam menjawab tantangan zaman. Masih
menurut Pak Haedar, Islam berkemajuan tidak tersekat pada lokasi domestik atau
negara, tetapi berwawasan universal dalam spirit rahmatan lil ‘alamin,
termasuk di dalamnya mencakup negeri dimana Islam itu lahir.
Untuk
mewujudkan Islam berkemajuan, di antara jalan utama yang harus ditempuh
persyarikatan ini (oleh warganya dan apalagi pimpinannya) adalah dengan dakwah
dan tajdid. Hal ini seperti diamanahkan dalam pernyataan pikiran Muhammadiyah abad
kedua yang merupakan Keputusan Muktamar ke-46 di Yogyakarta atau akrab dikenal
dengan Muktamar Satu Abad. Dalam tulisan 17 halaman itu disebutkan bahwa dakwah
dan tajdid bagi Muhammadiyah merupakan jalan perubahan. Karena Muhammadiyah
adalah gerakan Islam yang melaksanakan misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Dakwah
Muhammadiyah
Sudah dimafhumi
secara umum, bahwa Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islam, amar
ma’ruf nahi munkar. Mengajak kepada kebajikan/kebaikan dan mencegah dari kemungkaran
atau apa saja yang diingkari dan ditolak oleh Islam. Hal ini merupakan ciri
Muhammadiyah yang muncul sejak kelahirannya dan akan tetap melekat tak
terpisahkan dalam jatidiri Muhammadiyah. Ini berarti Muhammadiyah adalah organisasi
yang bergerak, dinamis dan progresif. Muhammadiyah bukan organisasi statis,
diam, berhenti dan apalagi berjalan mundur.
Penegasan
seperti ini jelas menggambarkan komitmen Muhammadiyah terhadap Al-Qur’an Surat
Ali Imran ayat 104, suatu ayat yang menjadi faktor utama yang melatarbelakangi KH.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Berdasarkan ayat tersebut Muhammadiyah
meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya. Dalam matan Kepribadian
Muhammadiyah dijelaskan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang diperjuangkan
Muhammadiyah ditujukan pada dua bidang: perseorangan dan masyarakat.
Dakwah dan amar ma’ruf
nahi munkar pada bidang pertama terbagi dalam dua golongan, yaitu: (a) Kepada yang telah Islam
bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang
asli dan murni; dan (b) Kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan
untuk memeluk agama Islam. Adapun dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar pada
bidang kedua, yaitu kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta
peringatan.
Dalam matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, salah satu teks
resmi persyarikatan yang merupakan Keputusan Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di
Ponorogo disebutkan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang
murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat, tanpa mengabaikan
prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
Tajdid
Muhammadiyah
Sejak awal
berdirinya, Muhammadiyah juga dikenal oleh masyarakat luas sebagai gerakan
tajdid atau gerakan reformasi Islam. Mengingat sejarah berdirinya Muhammadiyah
juga dilatarbelakangi adanya gelombang reformasi yang bersemi pada dunia Islam
saat itu. Pembaharuan Muhammadiyah setidaknya diinspirasi dari pembaharuan
Islam yang diusung oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qayyim al-Jauziyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi, Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha dan beberapa ulama mujaddid lainnya (rahimahumullah). Bahkan
menurut Ustadz Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A dalam tulisan berjudul “Komitmen
Dakwah Muhammadiyah”, ada riwayat yang menyebutkan bahwa KH. Ahmad Dahlan
sempat berjumpa dengan Syaikh Rasyid Ridha tersebut di Mekkah saat beliau
bermukim di sana.
Bagi
Muhammadiyah Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi dan pusat inspirasi
yang menyatu dalam seluruh denyut nadi gerakan. Paham Islam yang berkemajuan semakin
meneguhkan perspektif tentang tajdid yang mengandung makna pemurnian
(purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi) dalam gerakan Muhammadiyah, yang
seluruhnya berpangkal dari gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-ruju’
ila al-Qur’an wa as-Sunnah) untuk menghadapi perkembangan zaman.
Di antara
maksud tajdid dalam arti pemurnian (purifikasi) adalah untuk memelihara matan
(teks) ajaran Islam yang murni, baik dari Al-Qur’an maupun As Sunnah Ash
Shahihah yang sudah lebih dulu dirawat oleh para ulama pendahulu dari kalangan
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (salafush shalih). KH. Ahmad
Siddiq, seorang tokoh Nahdhatul Ulama (NU) dari Malang sebagaimana dikutip dalam
buku “Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam” menjelaskan bahwa makna tajdid dalam
arti pemurnian ini setidaknya menyasar kepada tiga aspek, yaitu: (a) i’adah
atau pemulihan, yaitu membersihkan ajaran Islam yang tidak murni lagi; (b) Ibanah
atau memisahkan; yaitu memisah-misahkan secara cermat oleh ahlinya (ulama- pen),
mana yang sunnah dan mana pula yang bid’ah; dan (c) Ihya’ atau
menghidup-hidupkan; yaitu menghidupkan ajaran-ajaran Islam yang belum
terlaksana atau terbengkalai.
Tiga aspek
tajdid dalam bentuk purifikasi ini juga sudah dicontohkan langsung oleh pendiri
dan para pendahulu persyarikatan. Sebut saja membersihkan ajaran Islam dari
segala bentuk penyimpangan dalam hal ibadah maupun (lebih utama) dalam hal
aqidah. Bahkan sejak awal berdirinya Muhammadiyah sudah dikenal dengan gerakan
memberantas TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat), termasuk di dalamnya syirik
dan taklid buta yang menjamur di masyarakat kala itu.
Dalam teks
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) juga disebutkan bahwa setiap
warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa
tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang benar, ikhlas, dan penuh
ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad ar-rahman yang menjalani
kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang
paripurna.
Setiap warga
Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan
hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap
menjauhi serta menolak syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat yang menodai iman
dan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kalau kita
cermati, tajdid dalam bentuk pemurnian (purifikasi) ini memang semakin hari
semakin tidak populer di kalangan umat Islam saat ini. Betapa banyak kaum
muslimin dari kalangan awam dan tokohnya yang alergi dengannya. Hal ini bisa
dilihat dari seringnya kita dengar ada yang nyinyir kepada para juru dakwah,
penyeru kepada tauhid yang lurus dan menjauhi bid’ah yang diada-adakan di
antaranya dengan ungkapan, “sedikit sedikit bid’ah, sedikit sedikit syirik”.
Ada pula lainnya yang berkata, “Orang lain sudah sampai ke bulan, kita masih
ribut dengan syirik dan bid’ah”. Dan pernyataan-pernyataan serupa lainnya yang
intinya ingin mengesampingkan pemurnian ajaran Islam ini.
Padahal syirik
adalah perkara besar yang konsekuensinya adalah surga dan neraka. Banyak ayat
yang berbicara tentang bahaya syirik, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS.
Al Maa'idah [5]: 72)
Sedangkan tentang
bid’ah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan Islam sebelum diwafatkannya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam, sehingga tidak pantas bagi umatnya untuk menambah apa-apa
yang tidak dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, (yang artinya): “...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al Ma’idah [5]: 3)
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam juga pernah bersabda, “Barangsiapa beramal dengan suatu
amalan yang bukan urusan agama kami (tidak ada contohnya dari kami), maka ia
tertolak.” (HR. Muslim)
Dari perilaku
bid’ah ini setidaknya akan kita dapati dua konsekuensi berat darinya. Pertama,
seakan-akan ia (pelaku bid’ah) lebih pintar daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan bahwa agama Islam ini telah sempurna (sebagaimana
QS. Al Maidah ayat 3 di atas), tetapi masih pula ditambah-tambah. Padahal tidak
ada yang kurang sedikitpun dari ajaran Islam itu sehingga memerlukan tambahan.
Kedua, seolah-olah ia (pelaku bid’ah) menuduh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam telah menyembunyikan sebagian ajaran Islam dengan tidak
menyampaikan perbuatan bid’ah yang dianggap baik tersebut kepada umatnya. Na’uzubillah...
Dakwah Tauhid:
Pembebasan
Maka sejatinya
dakwah utama yang diusung oleh Muhammadiyah bisa disebut dengan “dakwah
pembebasan”. Yaitu mendakwahkan aqidah tauhid agar masyarakat dan umat terbebas
dari segala macam kesyirikan dan mendakwahkan sunnah (dalam artian hal-hal yang
dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) agar masyarakat
terbebas dari bid’ah dan taqlid buta yang membelenggu mereka. Selain itu,
Muhammadiyah juga berjuang untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan dan
kemiskinan yang paling besar, yaitu bodoh dan miskin dalam ilmu syariat, yang
ujung-ujungnya juga akan terjerumus ke dalam perilaku syirik, takhayul, bid’ah,
khurafat dan taklid buta.
Sebagai
penutup, kami kutipkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “...maka
Allah timpakan atas kalian kehinaan dan tidak akan hilang kehinaan itu sehingga
kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, Sahih
menurut Al Albani). Wallahu a’lam
*)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No 2/XIV Jumadil Akhir 1437
H/Maret 2016 M
Comments