Oleh: Muhammad Nasri Dini
Dakwah secara bahasa bisa
diartikan sebagai undangan, panggilan, seruan dan ajakan. Secara istilah,
dakwah berarti penyampaian Islam kepada manusia, baik secara lisan, tulisan
maupun media lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Di antara esensi
dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya
serta menjauhi segala larangan dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat. Dengan ungkapan yang singkat, hakikat dakwah adalah melakukan amar
makruf dan nahi munkar berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya dengan tujuan
untuk mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat. Hal ini dapat disimpulkan di
antaranya dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artiya, “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali
Imran [3]: 104)
Dari
ayat di atas juga, Muhammadiyah meletakkan khittah dan strategi dasar
perjuangannya, yaitu dakwah Islam, amar makruf nahi munkar dengan masyarakat
sebagai medan atau kancah perjuangannya. Karenanya hingga saat ini Muhammadiyah
dikenal sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar. Ini merupakan
salah satu ciri Muhammadiyah yang telah muncul sejak kelahirannya dan tetap
melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah hingga sekarang. Bahkan
semua kiprah Muhammadiyah di tengah masyarakat dengan membangun berbagai amal
usaha semacam lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan
tinggi, rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya tidak lain merupakan
perwujudan dari dakwah Islam. Artinya semua amal usaha tersebut didirikan
dengan niat dan tujuan yang satu, yaitu sebagai sarana dakwah Islam, dalam
rangka mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meyebarluaskan ajaran
A-Qur’an dan As Sunnah Al Maqbulah untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Selain dikenal
sebagai gerakan dakwah Islam, Muhammadiyah juga dikenal sebagai gerakan tajdid (reformasi),
baik tajdid dalam artian purifikasi (pemurnian) maupun dalam arti dinamisasi
(peningkatan, pengembangan). Sebagai gerakan dakwah yang multidimensi, Muhammadiyah
senantiasa melakukan dinamisasi sebagai upaya penguatan terus menerus terhadap langkah-langkah
dakwah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk menuju cita-cita dan
tujuan Muhammadiyah, yaitu terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar benarnya. Saat
ini dinamisasi dalam hal dakwah juga sudah dilakukan di Muhammadiyah. Dakwah
tidak hanya dilakukan dalam pengajian saja, melainkan menyasar pada persoalan
nyata yang dihadapi masyarakat, seperti masalah ekonomi. Para juru dakwah
Muhammadiyah juga tidak hanya dibatasi pada orang-orang yang menyampaikan
ceramah atau pengajian, melainkan meluas kepada setiap warga Muhammadiyah yang
memiliki komitmen amar makruf nahi munkar untuk memperbaiki keadaan masyarakat,
sekecil apapun bentuknya dan dimanapun dia berada. Dakwah tidak hanya dari
masjid ke masjid saja, tetapi telah merambah ke majalah, radio, televisi dan
media internet. Dari segi aspeknya, dakwah Muhammadiyah ada di segala aspek,
seperti: pendidikan, ekonomi, sosial, olahraga, seni budaya, dll. Karena Muhammadiyah
memandang bahwa dakwah memiliki pengertian yang luas.
Hal ini sesuai
dengan maksud gerakan Muhammadiyah yang tertulis dalam matan Kepribadian
Muhammadiyah, bahwa dakwah Islam amar makruf nahi munkar Muhammadiyah ditujukan
pada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Dakwah dan amar makruf nahi munkar pada bidang pertama terbagi dalam dua
golongan: (a) Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan
kepada ajaran Islam yang asli dan murni; (b) Kepada yang belum Islam, bersifat
seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam. Adapun dakwah dan amar
makruf nahi munkar pada bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat
kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan
dasar takwa dan mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata-mata. Dengan melaksanakan
dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang
sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tercapainya tujuan Persyarikatan
Muhammadiyah, ialah “Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Satu sisi
memang patut disyukuri perkembangan dakwah di persyarikatan ini, Meski
demikian, kita tetap harus mengambil teladan terbaik dari para pendahulu kita,
baik kepada Rasulullah dan para sahabat sebagai suri teladan terbesar dalam
dakwah, maupun kepada KH. Ahmad Dahlan sebagai salah satu pelopor dakwah
puritan di nusantara sekaligus pendiri Muhammadiyah. Bahwa memang sebenarnya
ruh dakwah adalah pengajian atau pengkajian. Lihatlah Rasulullah yang memulai
dakwahnya dengan ‘pengajian’ rutin di rumah Al Arqam. Dalam berbagai riwayat
juga dikisahkan bahwa para sahabat mengambil hadis dari beliau saat diadakannya
‘pengajian’ oleh Rasulullah. Jibril juga pernah menurunkan wahyu dari Allah
saat Rasulullah sedang menggelar pengajian bersama para sahabat beliau. Para
sahabat seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Abu Musa
Al ‘Asy‘ari, Abdullah bin Zubair, dll juga dikenal dengan kajian hadis dan
tafsirnya. Termasuk para ulama mazhab seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas,
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal juga menjadi teladan dalam
hal pengajian, pengkajian dan banyaknya murid beliau.
KH. Ahmad
Dahlan juga mengawali geraknya melalui pengajian-pengajian. Beliau senantiasa
mencari peluang untuk mengisi pengajian dan menggerakkan pengajian. Sejarah
mencatat banyak pengajian yang digerakkan Kyai Dahlan, beberapa di antaranya
seperti: Qismul Arqa’, Fathul Asrar wa Miftahus Sa’adah, Wal ‘Ashri, Pengajian
Malam Jum’at, Sapa Tresna, dll. Dari pengajian-pengajian tersebut kemudian muncul
kader-kader dakwah yang luar biasa, yang menyebarluaskan Islam dan Muhammadiyah
ke segala penjuru Nusantara. Kalau bisa katakan secara singkat, dakwah adalah
ruh Muhammadiyah, dan pengajian adalah ruh dakwah Muhammadiyah.
Ketua Majelis
Tabligh PP Muhammadiyah periode 2010-2015 dr. H. Agus Sukaca, M.Kes dalam
tulisannya berjudul “Semua Anggota Muhammadiyah Mengaji” mengatakan bahwa KH.
AR Fachruddin berulang-ulang menyatakan bahwa pengajian adalah ruh-nya
Muhammadiyah. Tanpa pengajian, Muhammadiyah ibarat jasad yang sudah tak
bernyawa. Betapapun hebatnya seseorang, bila nyawanya sudah tak ada, ia
hanyalah mayat yang tidak lagi mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Ia
menjadi tanggungjawab orang lain untuk memandikan, menshalatkan dan
menguburkan. Demikian halnya dengan Muhammadiyah, bila tanpa pengajian, ia
kehilangan kemampuan memberikan kemanfaatan bagi umat, bahkan menjadi beban.
Menurut pengamatan beliau, orang-orang yang sering bermasalah dalam
Muhammadiyah, apakah di amal usaha atau persyarikatan, bila ditelusuri,
ternyata kebanyakan bukanlah orang yang ahli mengaji.
Perkembangan gerakan
Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari pengajian. Kaidah-kaidah persyarikatan
menjadikan pengajian sebagai inti gerakan. Mari kita tengok kembali Anggaran
Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah, dalam pasal 3 disebutkan bahwa amal usaha
Muhammadiyah yang pertama adalah “Menanamkan keyakinan, memperdalam dan
memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran
Islam dalam berbagai aspek kehidupan”. Sedangkan pada poin yang kedua
dituliskan, “Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam
berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.”
Dalam bagian
yang lain ART Muhammadiyah pasal 5 disebutkan tentang syarat pendirian ranting Muhammadiyah
sekurang-kurangnya mempunyai: (a) pengajian/kursus anggota berkala,
sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan; (b) pengajian/kursus umum berkala,
sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan; (c) mushalla/surau/langgar sebagai
pusat kegiatan; dan (d) jama’ah. Tidak hanya pada level ranting, untuk
mendirikan Pimpinan Muhammadiyah di tingkat cabang (pasal 6), daerah (pasal 7)
dan wilayah (pasal 8) semuanya mensyaratkan adanya pengajian anggota, pimpinan
dan mubaligh, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan.
Masih dalam
tulisan yang sama, dr. Agus mengatakan bahwa pengajian adalah media paling pas
bagi umat Islam untuk belajar sepanjang hayat tanpa batas waktu. Melalui
pengajian pula kehidupan berjama’ah bisa diamalkan. Dan melalui pengajian pula
fungsi Muhammadiyah untuk mengantarkan umat Islam ke gerbang surga jannatun
na’im dapat dilaksanakan. Berada dalam jama’ah pengajian Muhammadiyah menjamin
kita tetap berada dalam orbit gerakan Muhammadiyah. Pengajian anggota merupakan
bagian dari sistem pembinaan anggota. Tujuannya memberikan pengajaran dan
bimbingan kepada anggota agar menjadi muslim yang taat, memahami dan
mengamalkan ajaran Islam yang benar sesuai dengan yang dipahami Muhammadiyah,
dan mampu menjadi subyek dakwah. Kewajiban ranting menyelenggarakan pengajian
anggota mengisyaratkan semua warga Muhammadiyah harus mengaji, meningkatkan
pemahaman agama, dan senantiasa berada dalam jama’ah.
Pengajian Umum,
di samping merupakan bagian dari sistem pembinaan anggota juga menjadi bagian
dari sistem dakwah Muhammadiyah kepada para simpatisan. Pengajian ini menjadi
media Muhammadiyah untuk melaksanakan misi menyebarluaskan ajaran Islam yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat umum. Warga Muhammadiyah
sebagai inti anggota pengajian dan masyarakat umum sebagai sasaran dakwah
Muhammadiyah. Kewajiban ranting menyelenggarakan pengajian umum mengindikasikan
bahwa sasaran dakwah Muhammadiyah haruslah senantiasa diperluas di kalangan
masyarakat umum, sehingga makin hari makin banyak masyarakat umum yang menerima
dakwah Islam. Sebagai warga Muhammadiyah tugas kita adalah memasarkan dan
merekrut sebanyak-banyaknya orang-orang yang dikenal untuk mengikuti pengajian
ini.
Maka sudah
menjadi keniscayaan bahwa untuk mewujudkan “semua anggota Muhammadiyah
mengaji”, tidak bisa tidak, pimpinan persyarikatan di semua jenjang harus
mempersiapkan di antaranya dengan mencetak sebanyak mungkin juru
dakwah/ustadz/mubaligh yang mumpuni. Tidak hanya mumpuni secara ilmu, tapi juga
secara metode. Karena tangeh lamun (jawa: tidak mungkin) semua warga
Muhammadiyah bisa mengaji di tempatnya masing-masing jika tidak ada pengisinya.
Bahkan ironis jika warga Muhammadiyah, di masjid yang didirikan dan dikelola
Muhammadiyah justru mengadakan pengajian dengan pengisi non-Muhammadiyah.
Sehingga pada akhirnya warga Muhammadiyah, khususnya di akar rumput ‘terpaksa’
harus eksodus dari persyarikatan, bukan karena tidak cinta kepada Muhammadiyah,
melainkan semata-mata karena merasa tidak ada pembinaan ruhiyah yang
diterimanya. Sedangkan bersama ‘yang lain’ ada kajian-kajian agama yang bisa
mereka ikuti secara rutin.
Sehingga apa
yang dikhawatirkan beberapa pihak di Muhammadiyah tidak terbukti, kalau
Muhammadiyah adalah LSM terbesar di Indonesia. Hanya menjadi tempat
berkumpulnya orang banyak, namun ruh Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah
hilang, karena hilangnya ruh dan identitas dakwah di Muhammadiyah: yaitu
pengajian! Wallahul Musta’an
*)
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Tabligh edisi No 6/XIV Syawal 1437 H/Juli
2016 M
Tidak ada komentar: