
Oleh: M. Nasri
Dini
Saat hitungan hari-hari kita telah
masuk pada bulan April dalam kalender Miladiyah, banyak di antara
kita yang membincangkan tentang tema emansipasi. Konon,
di bulan ini dahulu kala pernah
lahir tokoh emansipasi di negeri kita tercinta Indonesia, dialah Raden Ajeng
Kartini. Seorang perempuan yang terkadang
dikultuskan dan dipuja
secara berlebihan oleh para perempuan lain dalam rangka membela hak-haknya
agar sama, persis dan
setara dengan kaum laki-laki. Namun, tahukah kita tentang apa makna
sebenarnya dari emansipasi tersebut? Tulisan ringkas ini bermaksud mengulas secara
singkat tentang emansipasi dan apakah
ada keterkaitannya dengan ajaran Islam.
Dalam Kamus
Ilmiah Populer halaman 74-75 menyebutkan, kata emansipasi berasal dari bahasa
latin “emancipatio” yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Pada zaman Romawi dulu,
membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama
halnya dengan mengangkat hak dan derajatnya. Adapun makna emansipasi bagi
perempuan adalah perjuangan sejak abad ke-14 M, dalam rangka memperoleh
persamaan hak dan kebebasan seperti hak kaum laki-laki.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata emansipasi diartikan dengan pembebasan dari perbudakan dan
persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti persamaan hak
kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
Saat kita
menengok kembali ke dalam ajaran Islam, secara umum akan kita temui bahwa
kedudukan semua manusia, termasuk halnya derajat perempuan dan laki-laki
adalah sama dan yang membedakan mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
hanyalah ketakwaan dan amal shalih yang mereka kerjakan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ
ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al Hujurat [49]: 13)
Sedangkan
berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam ajaran Islam, tanpa harus diangkat
pun derajat mereka sudah ditempatkan pada posisi yang tinggi. Para perempuan
juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarya, tentunya dengan tidak
melalaikan tugas, fungsi dan kedudukan pokoknya sebagai perempuan. Islam
juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah mampu berkarya di berbagai bidang. Karena Islam datang dalam rangka membebaskan perempuan dari
belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Bahkan bukti paling nyata bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat memuliakan perempuan adalah dengan
adanya surat An Nisa’ (yaitu surat ke-4) dalam Al Qur’an.
Hal ini sangat
jauh bertolak belakang dengan peradaban-peradaban lain di masa lalu sebagaimana
disebutkan oleh Mahmud Mahdi Al Istanbuli dalam buku “Mengenal Shahabiyah
Nabi”. Di antaranya seperti peradaban Yunani yang digambarkan sebagai
masyarakat yang maju dan modern di masa silam menganggap perempuan adalah
makhluk yang paling rendah derajatnya dan dianggap sebagai penyebab dari segala
penderitaan dan musibah yang menimpa manusia. Maka mereka pun tidak berhak
untuk duduk bersama di meja makan sebagaimana laki-laki karena kedudukan mereka
hanya selayaknya budak dan pelayan yang hina. Bahkan mereka terpaksa rela untuk
diperjualbelikan dengan murah dan mudah tanpa harga diri sedikitpun.
Dalam
perundangan Romawi, terdapat banyak aturan yang cenderung kepada kezaliman,
pengekangan dan kekejaman yang ditujukan kepada perempuan. Laki-laki berhak
penuh atas keluarganya seperti halnya raja berhak kepada rakyatnya. Maka lelaki
berhak mengatur istrinya (dan anak perempuannya) sesuai dengan selera hawa
nafsunya. Bahkan suami terkadang berhak untuk membunuh istrinya sendiri.
Peradaban
Persia mengusir perempuan ke tempat yang jauh dari kota tempat tinggalnya saat
mereka haid, dan tidak boleh ada orang yang berhubungan dengan mereka kecuali
pembantu yang mengantarkan makanan kepada mereka.
Perempuan di
negeri Cina dan dalam pandangan orang Yahudi tidak berhak menerima warisan dari
orangtuanya. Mereka menyerupakan perempuan dengan racun yang merusak
kebahagiaan dan harta.
Bahkan kalau
kita menengok lagi ke dalam lembaran tarikh sebelum diutusnya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, pada masa itu perempuan terinjak martabatnya dan
tidak terhormat. Di antaranya orang Arab Jahiliyah yang langsung membunuh
hidup-hidup saat mendapatkan anak perempuan. Dalam ayat Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan:
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ
وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ
اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا
يَحْكُمُوْنَ
“(Padahal,)
apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak
perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan
malu). Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung)
kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah,
alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu!” (QS. An Nahl [16]:
58-59).
Maka kemudian
Islam datang dan melakukan reformasi besar-besaran terhadap kedudukan perempuan.
Islam di antaranya mewajibkan pemeluknya untuk menghormati dan memuliakan perempuan
sebagai ibunya tiga kali dibanding bapaknya. Seperti yang pernah disabdakan
oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadist berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ
قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَىٰ رَسُولِ ٱللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: يَا رَسُولَ ٱللّٰهِ، مَنْ أَحَقُّ ٱلنَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ:
أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ،
قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبُوكَ.
Dari Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah,
kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi
wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian
siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang
tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim
no. 2548)
Islam
menempatkan perempuan pada kedudukan yang terhormat dan bermartabat. Dalam hal
fisik, Islam juga menghormati fisik perempuan dengan menyuruhnya untuk berhijab
agar mereka terlindung dari serangan mata dan hati yang jahat. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab [33]: 59)
Hal ini sangat
jauh berbeda dengan perlakuan peradaban barat yang sampai hari ini
mengeksploitasi perempuan. Bukti lain dimuliakannya perempuan, yaitu istri
mesti dinasihati dengan lemah lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ
خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ
ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَـمْ يَزَلْ أَعْوَجَ،
فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berbuat
baiklah pada para perempuan. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk.
Yang namanya tulang rusuk, bagian atasnya itu bengkok. Jika engkau mencoba
untuk meluruskannya (dengan kasar), engkau akan mematahkannya. Jika engkau
membiarkannya, tetap saja tulang tersebut bengkok. Berbuat baiklah pada para perempuan.” (HR.
Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 1468)
Demikianlah
Islam menempatkan kedudukan perempuan secara adil dan proporsional. Tapi
jika yang dituntut kesamaan adalah segala hal mengenai laki-laki dan perempuan termasuk
hak dan kewajibannya dalam menjalankan segala pekerjaan termasuk amalan dalam
agamanya (misal: perempuan sebagai imam shalat laki-laki), maka hal ini adalah
sebuah kebatilan. Karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan sudah diciptakan
dalam keadaan berbeda, termasuk berbeda pula hak dan kewajibannya. Dan ini
adalah sebuah fitrah yang tidak bisa dirubah dengan alasan emansipasi.
Semua fitrah
dan sunnatullah yang sudah berlaku tentang laki-laki dan perempuan ini bukan
dalam rangka membuat perempuan terpinggir seperti persangkaan para
aktivis perempuan, namun dalam rangka memuliakan mereka. Di antara ajaran
Islam yang menunjukkan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap perempuan dan
kedudukan utama seorang perempuan adalah dengan menempatkan perempuan di
rumah dan menyiapkan generasi penerus yang baik. Cukuplah perkataan
orang-orang bijak banyak yang mengaitkan keberhasilan para tokoh dan pemimpin
dengan peran dan bantuan kaum perempuan lewat ungkapan “Dibalik keberhasilan
setiap pembesar, ada perempuan di belakangnya yang selalu mendukungnya!”
Maka
semestinya, kaum perempuan hendaknya menjadikan rumahnya sebagai istananya,
karena memang itulah (rumah) medan kerja mereka yang sesungguhnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ
وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ
“Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias
(dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat,
tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya
hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS.
Al-Ahzab [33]: 33)
Di rumah, perempuan
mempunyai peran sangat penting, yaitu mencetak anak-anaknya menjadi generasi
penerus yang kelak dapat menegakkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan kalimat laa ilaaha illallah di muka bumi. Sehingga meskipun perempuan
berkarya di berbagai bidang, tidak membuat seorang perempuan melupakan tugas
utamanya sebagai “madrasatul uula”, sumber pendidikan pertama bagi
anak-anaknya, putra-putri yang kelak akan meneruskan tongkat estafet untuk
membangun peradaban ini. Seorang ibu ibarat sekolah,
apabila perempuan disiapkan menjadi ibu dengan baik, berarti otomatis telah menyiapkan satu bangsa yang
harum namanya dengan
sentuhan ibu tersebut.
Seperti halnya dua buah sayap, laki-laki dan perempuan juga semacam itu, dua-duanya mempunyai kedudukan yang sama, tetapi dengan fungsi yang berbeda. Bayangkan jika dua sayap itu kanan semua atau kiri semua, pasti seekor burung tidak akan dapat terbang. Seandainya seorang laki-laki menuntut hak perempuan dan perempuan menuntut hak laki-laki, maka yang terjadi juga ketidakseimbangan. Maka, sudah selayaknya laki-laki dan perempuan melaksanakan tugas dan kerja dalam posisinya masing-masing, tanpa harus menepuk dada bahwa salah satu di antaranya lebih baik dari yang lain. Sehingga yang tercipta adalah keserasian dan keharmonian yang indah dalam kehidupan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar: