Muhammad Nasri Dini
Kepala
SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
Pada
Majalah Tabligh edisi No. 11/XVII penulis telah memaparkan secara singkat
tentang langkah kedua yang terdapat dalam Tafsir Langkah Muhammadiyah. Gagasan
pemikiran ideologis pertama dalam Muhammadiyah yang awalnya adalah materi
pengajian rutin malam selasa (Cursus Hoofdbestuur Moehammadijah di Yogyakarta) yang
diampu oleh KH. Mas Mansur (Ketua PB Muhammadiyah 1937-1942).
Dalam
memahami agama, Muhammadiyah secara akidah berpegang kepada para salafush
shalih meskipun tidak berafiliasi dengan aliran akidah manapun. Secara fikih,
Muhammadiyah tidak berorientasi pada fikih mazhabi tetapi fikih manhaji. Secara
akhlak, Muhammadiyah tidak pernah mengikuti aliran tasawuf tertentu, tidak pula
mengatakan bahwa tasawuf itu sesat. Muhammadiyah
sama sekali tidak anti terhadap aliran teologi, mazhab dan tasawuf tertentu. Paham
agama Muhammadiyah bersifat independen, komprehensif, dan integratif.
Dalam
memperluas paham agama, Muhammadiyah melakukan setidaknya dua hal, yakni
purifikasi dalam hal akidah (pemurnian dari syirik), ibadah (pemurnian dari
bid’ah), dan akhlak (pemurnian dari yang menyimpang). Sementara tajdid
(dinaminasi atau modernisasi) dilakukan dalam hal urusan muamalah keduniawian.
Sehingga Islam dapat diaplikasikan secara aktual dan fungsional.
Tentang
paham agama Muhammadiyah ini dalam buku “Tafsir Langkah Muhammadiyah” disebutkan
bahwa agama dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Bagian Pokok, ialah yang
berhubungan dengan kepercayaan i’tiqad. Bagian ini kita harus taslim (menerima
saja) kepada adanya nash-nash yang tentu. Kedua, Bagian Furu’, ialah yang
berhubungan dengan ibadah, muamalah, hudud (perbatasan), dan lain-lain. Dalam
bagian ini kita boleh memperluas paham dengan menggunakan “qiyas” dan
lain-lainnya. (Tafsir Langkah hlm. 28)
Pada
langkah kedua ini KH. Mas Mansur juga berpesan kepada para mubaligh
Muhammadiyah agar selalu mempelajari, memahami dan menyebarluaskan agama dengan
pemahaman yang luas. Meskipun beliau juga berpesan, “untuk ketertiban, agar
jangan sampai mendatangkan perselisihan di dalam kalangan kita (persyarikatan-pen),
maka sebelum buah paham itu diberikan kepada umum, lebih dahulu supaya
dipermusyawarahkan di dalam Lajnah atau Majelis Tarjih, dan di dalam
permusyawaratan itu, hendaklah langkah ini (langkah kedua-pen) menjadi dasar.”
(Tafsir Langkah hlm. 32)
Langkah
Ketiga
Muhammadiyah
telah memberikan panduan untuk segenap warganya dalam bermuamalah, intinya
bahwa semuanya harus selalu dalam naungan frame keislaman, mencakup di dalamnya
akhlakul karimah. Tidak hanya mementingkan hubungan baik dengan Allah SWT (hablum
minallah) semata, tetapi juga diimbangi dengan baiknya hubungan dengan sesama
manusia (hablum minannas). Maka Muhammadiyah tidak hanya mengajarkan warganya agar
menjauhi perbuatan syirik saja kepada Allah SWT, tetapi juga menghimbau
warganya agar menjauhi dan tidak melakukan akhlak mazmumah (budi pekerti yang
tercela) kepada sesama manusia.
Langkah
ketiga yang diambil oleh KH. Mas Mansur dalam Tafsir Langkah Muhammadiyah
adalah “memperbuahkan budi pekerti”. Karena akhlak mahmudah (budi pekerti yang
baik) adalah hal yang dicintai Allah SWT. Karena keutamaan akhlak yang baik,
juga tingginya kedudukan akhlak dalam agama ini, serta baiknya buah yang akan
didapatkan oleh orang yang berakhlak dengan akhlak yang baik ketika di dunia
dan di akhirat. Bahkan Allah SWT mensifati orang yang paling dicintai-Nya,
yaitu Nabi Muhammad SAW dengan pemilik akhlak yang sempurna. Allah SWT
berfirman,
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan
sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4)
KH.
Mas Mansur mencontohkan beberapa bentuk akhlak yang harus dipegang erat oleh
kaum mukminin, utamanya warga Muammadiyah. Di antaranya yaitu:
Pertama,
Takut kepada Allah SWT.
Jika rasa takut kepada Allah SWT senantiasa dipelihara oleh seorang muslim,
maka ia akan menjadi dinding yang kuat agar manusia tidak mengerjakan maksiat.
Ia juga menjadi kendaraan bagi manusia agar bisa meringankan mereka dalam menjalankan
ibadah kepada Allah SWT.
KH.
Mas Mansur berkata, “Rasa takut kepada Allah, suatu pokok yang sangat penting,
sehingga karena amat pentingnya, maka setengah dari syarat-syarat khutbah Jum’ah
harus ada pokok bahasan yang maksudnya memberikan peringatan kepada orang
banyak supaya takut kepada Allah.” (Tafsir Langkah hlm. 37)
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menerangkan bahwa, “Konsekuensi dari orang yang
takut pada Allah adalah meninggalkan larangan dan melaksanakan perintah. Itulah
yang mendapatkan dua surga. Dua surga itu terdapat bejana, perhiasan, bangunan
dan isi lainnya yang terbuat dari emas. Salah satu dari dua surga itu
diperuntukkan karena meninggalkan yang diharamkan. Dan surga lainnya
diperuntukkan karena melakukan ketaatan yang diperintahkan.”
Allah
SWT berfirman:
وَلِمَنْ
خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan
bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (QS. Ar
Rahman [55]: 46)
Kedua,
Menepati Perjanjian.
Menyelishi janji adalah tanda kemunafikan, maka hukumnya adalah haram. Karena
menyelisihi janji dapat juga disamakan dengan berkata dusta (bohong), dan dusta
adalah perbuatan haram, Sebaliknya hukum memenuhi janji adalah wajib. Maka
sudah seharusnya seorang muslim berhati-hati dalam membuat janji. Seorang
muslim tidak akan bermudah-mudah berjanji kemudian melupakan dan menyelisihi
janjinya sendiri.
Nabi
SAW bersabda, “Empat sifat, barangsiapa terdapat padanya empat sifat itu dialah
orang munafik (tulen). Dan barangsiapa terdapat dari padanya salah satu dari
empat sifat itu, maka dialah setengah dari orang munafik, sehingga dia mau
meninggalkannya. Empat sifat itu ialah: (1) Jika berbicara, dia berdusta, (2)
Jika berjanji, dia tidak menepati, (3) Jika telah sanggup, dia khianat, (4)
Jika berbantah, dia melewati batas (berkeras kepala, tidak mau mengakui
salahnya meskipun salah).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
KH.
Mas Mansur berkata, “Menepati perjanjian, suatu perkara yang terpenting di
dalam kebersamaan suatu perkara, terutama dalam persyarikatan. Persyarikatan
tidak akan berjalan beres, bila pengurus-pengurus dan anggota-anggotanya sudah
tidak menepati perjanjian, melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah
disanggupinya.” (Tafsir Langkah hlm. 38)
Ketiga,
berkata benar.
Salah satu akhlak yang penting dan harus dimiliki oleh seorang muslim adalah
kebenaran dalam perkataannya. Benar dalam hal apa yang dia katakan adalah
sesuatu yang memang sebuah kebaikan. Dan benar dalam hal bahwa semua yang dia
katakan adalah sebuah kebenaran (kejujuran). Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ
لِيَصْمُتْ
“Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika
tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah
SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(QS. Al Ahzab [33]: 70-71)
KH.
Mas Mansur berkata, “Supaya perjalanan kita selamat, maka akhlak ini harus
ditanamkan dalam-dalam kepada orang umum terutama anggota-anggota Muhammadiyah,
karena vergadering-vergadering (keputusan yang disahkan dalam rapat) kita tiada
akan memperbuahkan putusan yang baik, kalau satu-satunya hadirin tidak
berdasarkan kebenaran di dalam pembicaraannya. Insya Allah, dengan berdasarkan
kebenaran, martabat kita akan terjunjung.” (Tafsir Langkah hlm. 40)
Keempat,
Rahmah dan Mahabbah.
Berkasih sayang dan saling mencintai antar sesama manusia, utamanya kepada
sesama kaum muslimin dan mukminin adalah hal yang diperintahkan dan suatu
perkara yang utama dalam Islam. Karena dengan adanya mahabbah, akan terwujud
persatuan dan ukhuwah antar sesama manusia. Karena rahmah dan mahabbah ini pula
Muhammadiyah dapat menyebar di daerah-daerah yang sebelumnya dikenal anti
terhadap dakwah Muhammadiyah. Penolakan terhadap Muhammadiyah bisa berubah
menjadi penerimaan saat da’i dan mubaligh Muhammadiyah bisa berlaku rahmah.
Salah
satu bentuk rahmah dan mahabbah adalah dengan selalu menebarkan salam. Seperti
yang pernah dicontohkan oleh KH. Abdur Rozak Fakhruddin atau yang biasa disapa
Pak AR. Saat beliau berdakwah di Ulu Paceh Palembang, beliau sempat ditanggapi
dengan sinis oleh ulama di tempat itu. Tetapi beliau dapat meluluhkan hati
ulama yang sinis tersebut dengan selalu menyapa setiap hari dengan ucapan
salam. Meskipun awalnya salam Pak AR tidak dijawab, tetapi beliau tidak pernah
bosan. Hingga akhirnya hati ulama di tempat itu pun luluh dan menjawab salam
Pak AR dengan lengkap. Singkat cerita Pak AR pun dipersilakan untuk berdakwah
di desa tersebut.
Rasulullah
SAW bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian
tidak disebut beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan
kepada kalian sesuatu yang apabila kalian melakukannya, kalian pasti saling
mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
KH.
Mas Mansur berkata, “Sifat mahabbah ini haruslah ditanamkan di kalangan kita,
agar kebahagiaan masyarakat dan persatuan dapat tercapai, sempurna dan berbuah.
Setengah daripada jalan yang menguatkan mahabbah itu ialah “ifsyakussalam”,
memberi salam kepada orang lain. Kedua sunnah inilah ia harus dipimpinkan
benar-benar dan diamalkan dalam kalangan kita, tidak boleh tidak.” (Tafsir
Langkah hlm. 42)
Budi
pekerti yang baik kepada sesama manusia, apalagi kepada sesama muslim adalah
salah satu kunci menuju surga. Lurusnya aqidah dan rajinnya ibadah seseorang kepada
Allah SWT belum sempurna jika tidak dilengkapi dengan baiknya hubungan dengan
sesama manusia. Karena bentuk ibadah itu tidak hanya shalat dan puasa saja,
tetapi berkata jujur, saling menghargai, rendah hati, sopan santun, saling
menolong, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan sesama makhluk Allah SWT
juga termasuk ibadah. Wallahu a’lam
*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Khusus Majalah Tabligh edisi No. 12/XVII Rabiul Akhir 1441 H/15 Desember 2019-15 Januari 2020
Comments