Muhammad Nasri Dini
Kepala SMP Muhammadiyah
Imam Syuhodo
Pada dua edisi yang telah lalu
Majalah Tabligh sudah memuat tulisan kami bertema Kepemimpinan Nubuwwah.
Yaitu tulisan berjudul “Pemimpin yang Shiddiq” pada edisi No.06/XVI dan
“Kepemimpinan Adalah Amanah” pada edisi No.07/XVI. Pada edisi kali ini,
penulis akan mencoba menyajikan tulisan lanjutan sederhana bertema Kepemimpinan
Nubuwwah dengan sub pembahasan tentang “Pemimpin yang Tabligh”.
Pemimpin dengan jiwa Nabawi
haruslah mempunyai sifat Nabawi pula. Tabligh atau komunikatif merupakan pondasi ketiga yang wajib dimiliki
oleh seorang pemimpin sejati. Artinya pemimpin haruslah senantiasa mau
berkomunikasi dengan rakyatnya. Kemampuan berkomunikasi yang baik mutlak harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena ia tidak berhadapan dengan benda mati,
tetapi pemimpin berhadapan dengan makhluk hidup, dalam hal ini rakyat, manusia
yang memiliki pola komunikasi berbeda-beda.
Pemimpin Tabligh selalu terbuka
dan tidak menutup diri dari rakyatnya. Terbuka tidak hanya saat butuh saja
kepada rakyat dalam rangka pencitraan, tetapi senantiasa ada dan mau
berkomunikasi dengan rakyat. Pemimpin dituntut untuk membuka diri kepada
rakyatnya, sehingga mendapat simpati dan juga rasa cinta dari rakyatnya.
Keterbukaan seorang pemimpin kepada rakyatnya juga akan mampu membangun
kepercayaan rakyat untuk melakukan komunikasi dengannya.
Kepemimpinan yang tabligh akan
selalu mau berkomunikasi dengan rakyat, siapapun rakyat yang ingin bertemu dan
berbicara dengannya. Tidak hanya menemui orang-orang yang setuju dengannya
saja. Tidak hanya menemui orang-orang yang memiliki modal saja. Tidak hanya
bertemu dan berbicara dengan teman-teman politiknya saja dan menemui lawan
politik hanya untuk kepentingan sesaat saja.
Seperti halnya Rasulullah SAW
yang pernah ditegur Allah SWT dalam surat ‘Abasa karena masalah komunikasi.
Beliau ditegur karena memalingkan muka dari Sahabat Abdullah Umi Maktum RA,
seorang ‘rakyat kecil’ yang meminta diajarkan suatu perkara dalam Islam karena
beliau memilih berkomunikasi dan berdakwah kepada para pembesar Quraisy.
Meskipun komunikasi yang dilakukan Rasulullah SAW dengan orang-orang Quraisy
tersebut sebenarnya juga hal yang penting, namun meremehkan rakyat kecil
seperti Abdullah bin Umi Maktum RA juga tidak dibenarkan oleh Allah SWT.
Artinya seorang pemimpin tidak boleh membeda-bedakan antara mereka dalam hal
ini.
Pada sisi yang lain seorang
pemimpin komunikatif juga harus memperhatikan dengan siapa dia berbicara. Dia
harus menyesuaikan penggunaan bahasa yang tepat saat berkomunikasi agar bisa
diterima dengan baik. Pola komunikasi yang baik memiliki korelasi yang erat
sekali dengan kepemimpinan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat
berkomunikasi dengan baik pula. Kemampuan berkomunikasi akan menentukan
berhasil tidaknya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Karena
kemampuan berkomunikasi seorang pemimpin, juga akan mempengaruhi perilaku
bawahannya, termasuk dalam hal komunikasi.
Rasulullah SAW selalu
berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang yang dihadapinya.
Dengan anak muda yang mempunyai semangat menggebu-gebu, pasti ada pola
komunikasi khas yang harus dibangun. Sebagaimana pernah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Mari kita simak percakapan Rasulullah SAW dengan seorang pemuda
yang ingin berzina berikut ini.
Suatu hari ada seorang pemuda
yang mendatangi Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!” Orang-orang
pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, “Diam kamu! Diam!” Rasulullah SAW
berkata, “Mendekatlah.” Pemuda itu pun mendekat lalu duduk. Nabi SAW bertanya,
“Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?” “Tidak, demi Allah, wahai
Rasul!” sahut pemuda itu. “Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka
dizinai.” Rasulullah SAW melanjutkan, “Relakah engkau jika putrimu dizinai
orang?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” pemuda itu kembali menjawab. “Begitu
pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.” “Relakah engkau jika
saudari kandungmu dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula
orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.” “Relakah engkau
jika bibi -dari jalur bapakmu- dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” “Relakah engkau
jika bibi -dari jalur ibumu- dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” Lalu Rasulullah
SAW meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah,
ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
Jawaban Rasulullah SAW ini tentu
tidak akan muncul jika beliau bukan seorang yang komunikatif. Tentang pola
komunikasi yang komunikatif ini juga pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim saat
berdebat dengan Namrud. Nabi Ibrahim AS dikenal dengan nabi yang intensif
berdakwah kepada keluarga, masyarakat, bahkan penguasanya saat itu. Dari beliau
kita bisa belajar tentang macam-macam strategi atau metode dakwah, termasuk
dalam hal berkomunikasi. Ibrahim AS adalah Nabi yang dikaruniai Allah SWT
kecerdasan. Dari Nabi Ibrahim AS kita akan belajar tentang tabligh yang
mengagumkan. Komunikasi yang nampaknya sepele, namun dengan lugas dan tegas
dapat mematahkan argumentasi lemah orang-orang kafir penyembah berhala. Seperti
yang diceritakan Allah SWT dalam firman-Nya, “Mereka bertanya: ‘Apakah kamu,
yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim
menjawab: ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Kemudian kepala
mereka jadi tertunduk (lalu berkata): ‘Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah
mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim berkata:
‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi
manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?’” (QS. Al
Anbiya [21]: 61-66)
Nabi Ibrahim AS sama sekali tidak
bermaksud berdusta kepada kaumnya dengan mengatakan bahwa patung besarlah yang
menghancurkan patung lainnya sebagaimana yang dijawabkan Nabi Ibrahim AS pada
mereka. Tetapi beliau sedang berusaha membangun komunikasi dengan menyadarkan
akal sehat dan membuka pikiran kaumnya bahwa patung-patung itu sebenarnya tidak
bisa berbuat apa-apa. Berbicara, melihat, mendengar, apalagi harus mengusir dan
melawan saat ada tangan yang akan menyentuh dan menghancurkan mereka. Membela
diri sendiri saja mereka sama sekali tidak mampu, apalagi jika harus memenuhi
doa permintaan dari para penyembah dan pemujanya. Laa haulaa walaa quwwata
illa billah...
Tentang komunikasi cerdas Nabi
Ibrahim AS ini Al-Qur‘an juga menceritakan dalam surat yang lain. Allah SWT
berfirman, “Ketika Ibrahim mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan
mematikan.’ Orang itu (Namrudz) berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan
mematikan.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari
timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu terdiamlah orang kafir itu; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al
Baqarah [2]: 258)
Pemimpin komunikatif akan selalu
berusaha menghindari terjadinya salah pengertian dalam setiap apa yang
diucapkannya. Dia selalu berbicara dengan tenang dan jelas. Seorang pemimpin
komunikatif juga akan selalu mengatur untaian kata demi kata yang dia ucapkan.
Kalimat demi kalimat yang dia sampaikan juga akan selalu tersusun dengan rapi
sehingga mudah dipahami oleh orang yang mendengarkannya.
Maka sangat disayangkan jika ada
seorang pemimpin yang tidak paham cara berkomunikasi dengan baik dan
tergesa-gesa dalam berkata. Ia akan dengan mudah ‘dibantah’ oleh bawahannya
saat salah berucap. Seperti halnya seorang presiden di negeri antah berantah
yang katanya akan melepaskan seorang ulama tua dari penjara karena alasan
kemanusiaan. Karena salah komunikasi, beberapa saat setelahnya langsung
dibantah oleh menterinya. Dan nyatanya pernyataan menterinya yang terbukti
kebenarannya.
Masih di negeri antah berantah,
para pembantu penguasa juga banyak yang kurang atau bahkan tidak bijak dalam
berkomunikasi dengan rakyatnya. Saat banyak masalah melanda, mereka justru
bercanda tidak pada tempatnya. Pajak listrik naik, cabut meteran agar irit.
Harga cabe naik, suruh tanam sendiri. Mereka, para pemimpin itu harus lebih
memperhatikan lagi apa saja dampak dari ucapan yang keluar dari lisannya.
Karena ucapan seorang pejabat jauh lebih berdampak dari pada sekedar ucapan
masyarakat awam. Rasulullah SAW bersabda, “Muslim sejati adalah orang yang
kaum muslimin lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Keberhasilan seorang pemimpin
juga dilihat dari keberhasilan komunikasi mereka dengan rakyatnya. Semoga
pola-pola komunikasi yang dilakukan para pemimpin di negeri ini tidak hanya
sebatas pencitraan diri semata, tapi benar-benar dalam rangka membangun
komunikasi yang baik dengan rakyatnya. Wallahu a’lam
*) Tulisan ini pernah dimuat Majalah Tabligh edisi No. 08/XVI Zulhijah 1440/Agustus-September 2019
Tidak ada komentar: