Muhammad Nasri Dini
Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
Pada
Majalah Tabligh edisi No. 10/XVII rubrik Sajian Khusus hadir dengan pembahasan
baru, yakni serial Tafsir 12 Langkah Muhammadiyah. Salah satu khittah
perjuangan Muhammadiyah yang dicetuskan di era KH. Mas Mansur. Serial diawali
dengan tulisan berjudul “Iman Sebagai Dasar Langkah”. Pada edisi kali ini,
penulis akan mencoba mengupas poin kedua dari 12 Langkah Muhammadiyah, yaitu
“Memperluas Paham Agama”.
Muhammadiyah
adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber
kepada Al-Qur’an dan As Sunnah. Dalam memahami agama Muhammadiyah tidak
menyandarkan diri pada mazhab tertentu yang ada dalam khazanah Islam, baik
dalam masalah aqidah maupun fiqhiyah, termasuk dalam tarekat. Meskipun secara
garis besar Muhammadiyah termasuk dalam gerbong ahlus sunnah wal jama’ah.
Muhammadiyah
mendakwahkan aqidah tauhid agar masyarakat dan umat terbebas dari segala macam
kesyirikan dan mendakwahkan sunnah (dalam artian hal-hal yang dituntunkan oleh
Rasulullah SAW) agar masyarakat terbebas dari bid’ah dan taqlid buta yang
membelenggu mereka. Selain itu, Muhammadiyah juga berjuang untuk membebaskan
masyarakat dari kebodohan dan kemiskinan yang paling besar, yaitu bodoh dan
miskin dalam ilmu syariat, yang ujung-ujungnya juga akan terjerumus ke dalam
perilaku syirik, takhayul, bid’ah, khurafat dan taklid buta.
Kalau
kita selami kembali perjalanan KH. Ahmad Dahlan dalam menuntut ilmu, salah satu
yang paling beliau tekankan adalah purifikasi. Takhayul, bid’ah, khurafat dan syirik
adalah yang pertama beliau berantas dari masyarakat saat itu. Pengembaraan KH.
Ahmad Dahlan dalam menuntut ilmu juga ke negeri yang getol dalam memberantas
syirik dan menegakkan tauhid, yaitu tanah Haramain. Beberapa bulan setelah
pernikahannya dengan Siti Walidah beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah dan sekaligus
menuntut ilmu di sana. Semangat purifikasi Islam beliau dapatkan dari
ulama-ulama puritan di antaranya dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan sebagainya. Dalam
hal ilmu-ilmu keislaman tradisional, di tanah haram beliau juga dikisahkan bersilaturahmi
dan mendalaminya di antaranya dengan ulama-ulama seperti Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau, Syaikh Mahfudz Termas, Imam Nawawi Al Bantani dan banyak ulama
lainnya di Masjidil Haram.
Bagi
Muhammadiyah Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi dan pusat inspirasi
yang menyatu dalam seluruh denyut nadi gerakan. Paham Islam yang berkemajuan
semakin meneguhkan perspektif tentang tajdid yang mengandung makna pemurnian
(purifikasi) dan pengembangan (dinamisasi) dalam gerakan Muhammadiyah, yang
seluruhnya berpangkal dari gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (al-ruju’
ila al-Qur’an wa as-Sunnah) untuk menghadapi perkembangan zaman.
Di
antara maksud tajdid dalam arti pemurnian (purifikasi) adalah untuk memelihara
matan (teks) ajaran Islam yang murni, baik dari Al-Qur’an maupun As Sunnah Ash
Shahihah yang sudah lebih dulu dirawat oleh para ulama pendahulu dari kalangan
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (salafush shalih). KH. Ahmad Siddiq,
seorang tokoh Nahdhatul Ulama (NU) dari Malang sebagaimana dikutip dalam buku
“Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam” menjelaskan bahwa makna tajdid dalam arti
pemurnian ini setidaknya menyasar kepada tiga aspek, yaitu: (a) i’adah atau
pemulihan, yaitu membersihkan ajaran Islam yang tidak murni lagi; (b) Ibanah
atau memisahkan; yaitu memisah-misahkan secara cermat oleh ahlinya (ulama-
pen), mana yang sunnah dan mana pula yang bid’ah; dan (c) Ihya’ atau
menghidup-hidupkan; yaitu menghidupkan ajaran-ajaran Islam yang belum
terlaksana atau terbengkalai.
Dalam
hal pemahaman ibadah fiqhiyyah, Muhammadiyah tidak mengikat diri dalam suatu
mazhab fiqih tertentu, tetapi menyeru masyarakat untuk mengembalikan semua
ibadah mahdhah kepada teks-teks Al-Qur’an dan Al Hadits. Meskipun dalam
perkembangannya Muhammadiyah tidak menolak modernisasi dalam hal sarana ibadah.
Penggunaan pengeras suara dalam azan dan shalat, perjalanan ke tempat ibadah
dengan menggunakan kendaraan modern, adalah beberapa di antara contohnya.
Termasuk penggunaan ilmu astronomi modern untuk menentukan awal bulan
qamariyah/hijriyah adalah semangat modernisasi Muhammadiyah dalam hal ibadah.
Dalam hal sarana ibadah ini Muhammadiyah tidak menyebut sebagai bid’ah. Karena
bid’ah adalah pada inti ibadah, bukan pada sarananya.
Tentang
bid’ah ini, Allah SWT telah menyempurnakan Islam sebelum diwafatkannya
Rasulullah SAW, sehingga tidak pantas bagi umatnya untuk menambah apa-apa yang
tidak dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman: “...Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al
Ma’idah [5]: 3)
Rasulullah
SAW juga pernah bersabda, “Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang bukan
urusan agama kami (tidak ada contohnya dari kami), maka ia tertolak.” (HR.
Muslim)
Dari
perilaku bid’ah ini setidaknya akan kita dapati dua konsekuensi berat darinya.
Pertama, seakan-akan ia (pelaku bid’ah) lebih pintar daripada Allah SWT. Karena
Allah SWT telah menegaskan bahwa agama Islam ini telah sempurna (sebagaimana
QS. Al Maidah ayat 3 di atas), tetapi masih pula ditambah-tambah. Padahal tidak
ada yang kurang sedikitpun dari ajaran Islam itu sehingga memerlukan tambahan. Kedua,
seolah-olah ia (pelaku bid’ah) menuduh Rasulullah SAW telah menyembunyikan
sebagian ajaran Islam dengan tidak menyampaikan perbuatan bid’ah yang dianggap
baik tersebut kepada umatnya.
Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pror. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.A dalam beberapa
kesempatan sering mengatakan bahwa manhaj Muhammadiyah adalah prinsip agama
Muhammadiyah dalam mengaktualisasikan Islam. Bahwa manhaj Muhammadiyah memiliki
dua pengertian yakni, salafiyah dan tajdidiyah.
Menurut
Buya Yunahar, Muhammadiyah dari segi akidah adalah salafiyah yang tidak
berafiliasi dengan aliran manapun. Dari segi fikihnya, Muhammadiyah bukan
oraganisasi yang berorientasi fikih mazhabi tetapi fikih manhaji. Paham agama dalam Muhammadiyah bersifat independen,
komprehensif, dan integratif. Namun Muhammadiyah sama sekali tidak anti terhadap
aliran teologi, mazhab dan tasawuf tertentu.
Dalam
hal akhlak, Muhammadiyah tidak pernah mengikuti aliran tasawuf tertentu, tapi
tidak pula mengatakan bahwa tasawuf itu sesat. Menurut Buya Yunahar Muhammadiyah
memakai istilah ihsan, yakni, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
melihat-Nya, seandainya engkau tidak melihat-Nya, maka Allah melihatmu.
Dalam
khazanah tokoh Muhammadiyah juga akan dijumpai tokoh-tokoh dengan wajah-wajah yang
disebut kental dengan tasawuf, yakni mereka yang ketaatan serta kehidupan
spiritualitasnya cukup intens. Seperti KH. AR Fakhrudin dan Buya Hamka. Masyitoh
Chusnan pada tulisan berjudul “Meneropong Wajah Tasawuf Dalam Muhammadiyah” yang
dimuat dalam website resmi Muhammadiyah menyebutkan, tema-tema majelis halaqah,
tabligh, pengajian, kuliah, khutbah, ataupun tulisan-tulisan KH. AR Fakhrudin yang
tersebar dalam brosur dan majalah-majalah intern persyarikatan Muhammadiyah,
memang tidak mengangkat tema yang secara eksplisit tentang tasawuf, seperti
tokoh lain dalam Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA, namun sarat dengan pelajaran
akhlaq yang dekat dengan wilayah tasawuf, yaitu tasawuf akhlaqi. Sementara
karya-karya HAMKA di bidang Tasawuf, lebih bersifat universal dan ditujukan
untuk khalayak pembaca yang beragam. Karya-karyanya antara lain: Tasawuf
Modern; Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya; Renungan Tasawuf; Lembaga Budi
dan Falsafah Budi
Secara
singkat dapat disimpulkan, dalam memperluas paham agama ini Muhammadiyah
melakukan setidaknya dua hal, yakni purifikasi dalam hal akidah (pemurnian dari
syirik), ibadah (pemurnian dari bid’ah), dan akhlak (pemurnian dari yang
menyimpang). Sementara tajdid (dinaminasi atau modernisasi) dilakukan dalam hal
urusan muamalah keduniawian. Sehingga ajaran Islam dapat diaplikasikan secara
aktual dan fungsional.
*) Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Sajian Khusus Majalah Tabligh edisi No. 11/XVII Rabiul Awal 1441H/15 November - 15 Desember 2019
Comments