Oleh: M. Nasri Dini
Menarik sekali membaca tulisan Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A pada
Majalah Tabligh edisi No. 7/XII Rajab-Syakban 1436 H dengan judul “Hifzu Al-Din
dalam Gerak Dakwah Muhammadiyah”. Disana disebutkan oleh Ustadz Syamsul di
antaranya tentang lemahnya ruh Islam yang melanda warga Muhammadiyah, baik
generasi mudanya, maupun dari kalangan seniornya. Lemahnya akhlak yang
disebutkan dalam tulisan tersebut menurut hemat kami (penulis artikel ini-red)
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pemahaman, pendalaman dan
pengamalan kepribadian Islam secara umum yang dimiliki oleh warga Muhammadiyah.
Padahal kalau kita cermati dalam teks-teks ideologi Muhammadiyah,
kita akan dengan mudah menemukan panduan untuk memahami kepribadian yang Islami.
Di antaranya dapat kita jumpai dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
(PHIWM) yang merupakan hasil Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta
pada tahun 2000. Dalam matan resmi persyarikatan yang sudah dibukukan dan
diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah tersebut terdapat panduan lengkap
agar warga Muhammadiyah dapat hidup secara Islami baik secara individu, keluarga,
masyarakat, termasuk dalam hal berorganisasi.
Untuk menjadi pribadi yang Islami, Muhammadiyah sudah memberikan
panduan lengkap sesuai dengan bidang agama yang empat, yaitu aqidah, akhlaq,
ibadah dan muamalah duniawiyah. Seperti yang dituliskan oleh Ustadz Syamsul
bahwa warga Muhammadiyah perlu untuk melakukan ’reislamisasi’ baik
secara individual (fardhiyah) maupun secara kolektif (jama’iyyah).
Penguatan kepribadian Islam tersebut sebenarnya bisa dimulai dengan membaca
kembali PHIWM dengan seksama. ‘Membaca’ dalam artian secara individu
masing-masing, maupun bisa dijadikan bahan seminar atau kajian intensif (Darul
Arqam dan Baitul Arqam) tentang kehidupan Islami oleh pimpinan Muhammadiyah
maupun amal usahanya di berbagai tingkatan, termasuk juga mencakup warga
Muhammadiyah secara umum, maupun pada tataran tokoh, pengurus dan pimpinannya.
Untuk mewujudkan kehidupan yang Islami secara pribadi atau individu
(fardhiyah) pada bidang aqidah, dalam teks PHIWM disebutkan bahwa, “setiap
warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa
tauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang benar, ikhlas, dan penuh
ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad ar-rahman yang menjalani
kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang
paripurna.”
“Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai
sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan
tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul, bid'ah, dan
khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.”
Dua paragraf yang penulis cetak miring tersebut adalah teks yang
penulis ambil dari PHIWM halaman 64. Andai saja warga Muhammadiyah secara
pribadi mau memahami kalimat tersebut, sebenarnya sudah cukup. Dalam artian
bahwa warga Muhammadiyah akan senantiasa berusaha untuk menjaga kemurnian
tauhid dan keimanannya di hati dengan tidak menjerumuskan diri ke dalam syirik,
takhayul, bid’ah dan khurafat dalam bentuk apapun. Meskipun untuk memahami
secara lengkap bagaimana tauhid yang murni dan apa saja yang dapat mengotorinya
tetap harus dikaji dengan lebih mendalam lagi.
Dalam bidang Akhlaq, setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk
meneladani perilaku Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dalam
mempraktikkan akhlaq mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang
diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh dan fathanah.
Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup
harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal
shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf,
fasad, fahsya dan kemunkaran.
Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang
mulia (akhlaq
al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlaq yang
tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan dijauhi sesama.
Setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas
maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari
perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang merugikan
hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di dunia ini. (PHIWM hlm. 65)
Kalau empat sifat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (sidiq,
amanah, tabligh dan fathanah) benar-benar diaplikasikan oleh warga
persyarikatan, sungguh kita telah menjadi Muhammadiyyah (pengikut Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam) yang lengkap dan paripurna. Meski tidak
dapat dipungkiri, tentu akan teramat berat untuk mewujudkannya. Sebagian di
antara kita warga Muhammadiyah ada pula yang enggan membaca dan mengkaji sirah
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu bagaimana kita mau
meneladani pribadi beliau jika tidak tahu (atau tidak mau tahu) bagaimana
pribadi Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?!
Termasuk halnya dalam hal-hal yang sering dianggap sepele, semisal makan
dengan tangan kanan, berdoa ketika masuk kamar mandi, tersenyum jika bertemu
sesama saudara, dll. Kalau Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam makan
dengan menggunakan tangan kanan itu disebut sebagai akhlakul karimah,
maka jika kita yang mengaku sebagai umatnya ini melakukan yang sebaliknya, yaitu
makan dengan tangan kiri, otomatis kita telah berakhlakul madzmumah.
Karena selain tidak meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
kita juga telah meniru perilaku syetan yang makan menggunakan tangan kiri. Kita
juga baru bisa disebut sebagai Muhammadiyah sejati jika tersenyum saat bertemu
dengan saudaranya sesama muslim, karena hal tersebut adalah perilaku mulia yang
memang dicontohkan langsung oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
pribadi sempurna yang kita telah mengaku sebagai pengikutnya. Masih teramat
banyak contoh lain tentang akhlakul karimah yang merupakan keteladanan dari
Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam yang tidak disebutkan
dalam tulisan ini, semoga pembaca dapat menggalinya di tempat lain.
Dalam bidang Ibadah, Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk
senantiasa membersihkan jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang mutaqqin
dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk,
sehingga terpancar kepribadian yang shalih yang menghadirkan kedamaian dan
kemanfaatan bagi diri dan sesamanya.
Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdhah dengan
sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafil (ibadah sunnah) sesuai
dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang kokoh, ilmu
yang luas, dan amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam kepribadian dan
tingkah laku yang terpuji.
(PHIWM hlm. 66)
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, M.A dalam
suatu kesempatan pernah menyampaikan, bahwa Muhammadiyah itu adalah Islam
proporsionalis. Artinya, warga Muhammadiyah mengamalkan syariat ibadah secara
proporsional, sesuai dengan porsi yang semestinya, hanya hal-hal yang
dituntunkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja yang
dilakukan. Sedangkan hal-hal yang meragukan, semisal yang berasal dari hadits
yang dianggap tidak maqbul (baik dhaif maupun maudhu’) oleh Majelis Tarjih, maka
warga Muhammadiyah seyogyanya tidak mengamalkannya. Ibadah yang berasal dari
hadits lemah saja tidak diamalkan oleh Muhammadiyah, apalagi yang jelas-jelas tidak
ada sumbernya sama sekali. Tapi jika ada dalil kuat yang mendasarinya, maka
warga Muhammadiyah dituntut untuk giat mengamalkannya.
Pengamalan ibadah yang paripurna juga tidak terlepas dari ‘efek
samping’ positif pada kehidupan sehari-hari yang menjangkiti para pelaku dan
pengamalnya. Belum disebut sebagai ahli ibadah sejati, jika rajin dan tekun menjalankan berbagai amalan ibadah, tetapi
ternyata dalam amal kesehariannya tidak bisa menghadirkan kemanfaatan bagi
sesama manusia dan bahkan malah berbuat hal-hal yang menimbulkan kemadharatan
atau kerusakan. Dalam hal shalat misalnya, belum benar-benar ‘mendirikan’
shalat, jika shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar pada
kesehariannya. Dalam hal puasa, belum sempurna puasanya, jika setelahnya tidak
menjadi pribadi bertakwa yang bermanfaat bagi sesama manusia. Demikianlah bisa
digali dan dikaji lebih lengkap tentang ‘manfaat’ ibadah ini bagi pembentukan
pribadi Islam pada waktu dan tempat yang lain.
Dalam bidang Mu’amalah Duniawiyah, Setiap warga Muhammadiyah
harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga
memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak
menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan
ihsan dalam arti berakhlaq karimah.
Setiap warga Muhammadiyah senantiasa berpikir secara burhani,
bayani, dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang Islami yang dapat
membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan
antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta maslahat bagi kehidupan
umat manusia.
Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja Islami,
seperti: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara
maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan. (PHIWM hlm. 66-67)
Inilah panduan yang telah diberikan oleh Muhammadiyah untuk segenap
warganya dalam bermuamalah, intinya bahwa semuanya harus dalam naungan frame
keislaman, mencakup akhlakul karimah, dan tidak hanya mementingkan
hubungan baik dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (habluminallah)
semata, tetapi juga diimbangi dengan baiknya hubungan dengan sesama manusia (habluminannas).
Jika kehidupan Islami yang dituntunkan oleh Muhammadiyah dalam PHIWM tersebut dapat benar-benar diamalkan dan diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh segenap warga Muhammadiyah, mulai dari warga biasa, termasuk pimpinan dan tokoh-tokohnya secara pribadi, maka otomatis akan menjalar kemashlahatan pada kehidupan disekitarnya, manusianya maupun makhluk lainnya. Akan terwujud apa yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemenangan akan semakin dekat (fathun qariib). Dan seperti harapan Ustadz Syamsul dalam mengakhiri tulisannya, akan turun pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala (nasrun minallah) untuk dapat mewujudkan negeri Indonesia yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur. Negeri yang baik, gemah ripah loh jinawi, dan dinaungi ampunan dari Rabbnya. Semoga! Wallahul musta’an.
Comments