Oleh: Muhammad Nasri Dini
Terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, lahir dan batin merupakan dambaan
setiap orang. Namun perwujudannya memerlukan proses yang panjang, kesungguhan,
kerja keras dan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua komponen masyarakat
harus saling bekerjasama dalam upaya mencapai cita-cita yang mulia ini.
Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah masyarakat yang dapat
menyeimbangkan antara kewajiban dan haknya, termasuk kewajiban dan hak kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia dan sesama makhluk
lainnya. Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk mencapai terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Islam
mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan
sesama, seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat yang lainnya. Masing-masing
unsur masyarakat hendaknya dapat memelihara hak dan kehormatan, baik dengan
sesama muslim maupun dengan non-muslim. Dalam hubungan bertetangga, Islam
memberikan perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan sebagai
tetangga yang harus dipelihara hak-haknya. (PHIWM hlm. 69-70)
Agar dapat mewujudkan kehidupan Islami dalam bermasyarakat, warga
dan pimpinan Muhammadiyah dapat membuka dan menelaah kembali Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Salah satu matan (teks) resmi persyarikatan yang
merupakan hasil Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta pada tahun
2000 yang sudah dibukukan dan diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah. Di
dalamnya terdapat panduan lengkap dengan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits bagi
warga Muhammadiyah agar dapat menjalani kehidupan secara Islami, baik secara
individu, keluarga, masyarakat, termasuk dalam hal berorganisasi dan bernegara.
Pembahasan PHIWM tentang bagaimana agar warga Muhammadiyah dapat
menjalankan kehidupan Islami secara pribadi sudah kami paparkan dalam tulisan
berjudul “Pribadi Islami Warga Muhammadiyah” (Tabligh No. 9/XII). Sedangkan
pembahasan tentang keluarga Islami dapat dilihat kembali dalam tulisan Ustadz
Dr. H. Syamsul Hidayat, M.A berjudul “Muhammadiyah dan Politik Pembangunan
Keluarga Islami” (Tabligh No. 07/XI). Tulisan ini insyaAllah akan memaparkan tentang
pandangan Muhammadiyah mengenai bagaimana mewujudkan masyarakat Islami yang
sebenar-benarnya.
Dalam PHIWM disebutkan bahwa setiap keluarga dan anggota keluarga
Muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan dalam bersikap baik kepada tetangga,
memelihara kemuliaan dan memuliakan tetangga, bermurah hati kepada tetangga
yang ingin menitipkan barang atau hartanya, menjenguk bila tetangga sakit,
mengasihi tetangga sebagaimana mengasihi keluarga/diri sendiri, menyatakan ikut
bergembira/senang hati bila tetangga memperoleh kesuksesan, menghibur dan
memberikan perhatian yang simpatik bila tetangga mengalami musibah atau
kesusahan, menjenguk/melayat bila ada tetangga meninggal dan ikut mengurusi
sebagaimana hak-hak tetangga yang diperlukan, bersikap pemaaf dan lemah lembut
bila tetangga salah, jangan selidik menyelidiki keburukan-keburukan tetangga,
membiasakan memberikan sesuatu seperti makanan dan oleh-oleh kepada tetangga,
jangan menyakiti tetangga, bersikap kasih sayang dan lapang dada, menjauhkan
diri dari segala sengketa dan sifat tercela, berkunjung dan saling tolong
menolong, dan melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan cara yang tepat dan
bijaksana. (PHIWM hlm. 70)
Kalau kita cermati, memang hal-hal tersebut tampaknya sangat
sepele, yang semua pada intinya mengajak kita untuk memperlakukan tetangga
sebagaimana memperlakukan diri kita sendiri. Namun demikian, sepengetahuan
penulis, hal-hal tersebut (setidaknya untuk saat ini) lebih banyak dilakukan
oleh masyarakat pedesaan yang masih lekat dengan sikap gotong royong, tolong
menolong dan kekeluargaan yang memang melekat erat dalam kepribadian mereka
sejak dahulu. Sedangkan dalam masyarakat perkotaan yang lebih kompleks dan
plural (majemuk) memang lebih terkesan menonjolkan sifat individualnya. Maka
dari itu sudah sepantasnya warga Muhammadiyah di manapun tempatnya membudayakan
hal-hal ‘sepele’ tersebut agar terwujud masyarakat Islam yang penuh dengan
kerukunan dan kasih sayang di antara mereka.
Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk
bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai
tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari
mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan
prinsi-prinsip yang diajarkan Agama Islam. (PHIWM hlm. 71)
Kebaikan memang tidak hanya ditujukan kepada sesama muslim saja,
tetapi juga kepada orang yang berlainan agama. Meskipun harus benar-benar kita
perhatikan batasan-batasannya. Dalam hal hari raya mereka misalkan, kita tidak
boleh ikut-ikutan di dalamnya meski hanya sekedar mengucapkan selamat. Karena
sangat jelas ajaran Islam tentang masalah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ -لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ -وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ -وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya: Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. Al-Kafirun:
1-6)
Menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Tengah
Ustadz H. Sholahuddin Sirizar, Lc. M.A mengucapkan selamat hari raya
kepada orang kafir hukumnya haram. Tidak boleh sama sekali diucapkan oleh umat
Islam. Adapun kalau kita ingin menghormati mereka sebagai sesama manusia,
cukuplah bagi kita diam, tidak perlu mendoakan sedikitpun kepada mereka dan
apa-apa yang mereka perbuat. Itulah cara yang paling selamat.
Dalam hubungan sosial yang lebih luas, setiap anggota Muhammadiyah
baik sebagai individu, keluarga, maupun jama'ah (warga) dan jam'iyah
(organisasi) haruslah menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan atas
prinsip menjunjung-tinggi nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persaudaraan
dan kesatuan kemanusiaan, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat
sejahtera lahir dan batin, memupuk jiwa toleransi, menghormati kebebasan orang
lain, menegakkan budi baik, menegakkan amanat dan keadilan, perlakuan yang
sama, menepati janji, menanamkan kasih sayang dan mencegah kerusakan,
menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang shalih dan utama,
bertanggungjawab atas baik dan buruknya masyarakat dengan melakukan amar ma'ruf
dan nahi munkar, berusaha untuk menyatu dan berguna/bermanfaat bagi masyarakat,
memakmurkan masjid, menghormati dan mengasihi antara yang tua dan yang muda,
tidak merendahkan sesama, tidak berprasangka buruk kepada sesama, peduli kepada
orang miskin dan yatim, tidak mengambil hak orang lain, berlomba dalam
kebaikan, dan hubungan sosial lainnya yang bersifat ishlah menuju terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (PHIWM hlm. 71-72)
Hal-hal
di atas memang sangat diperlukan untuk mewujudkan masyarakat Islami yang kita
dambakan. Karena dari masyarakat yang Islami nantinya akan tumbuh menjadi negara
yang Islami pula.
Untuk bisa mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,
di antaranya dapat dilakukan dengan menyantuni orang-orang yang lemah. Hal ini karena masyarakat Islam sudah seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan anggota masyarakatnya. Karenanya dalam upaya memperoleh kebutuhan
pokok dalam hidupnya, pada masyarakat yang Islami tentu saja tidak akan
membiarkan orang-orang lemah yang tidak mampu lagi untuk mencari nafkah kecuali
dengan mengemis, padahal mengemis itu dapat menjatuhkan harga diri atau
kehormatan diri mereka, apalagi kalau sampai mencuri. Na’uzubillah. Karenanya mereka yang lemah itu akan mendapat
santunan agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dalam kaitan itulah,
Allah Subhanahu wa Ta’ala menekankan untuk membantu orang-orang yang memerlukan
bantuan pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta
yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan
apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Q.S.
Al Baqarah [2]: 215)
Manakala
orang-orang lemah mendapatkan jaminan sosial dari masyarakat, maka mereka akan
mendapatkan kebahagiaan hidup tanpa harus mengalami kegelisahan harus makan
apa, tinggal dimana dan pakaian seperti apa yang harus dikenakannya. Karena itu
pada masyarakat Islami orang-orang yang lemah tidak boleh diabaikan begitu
saja. Mereka harus mendapat perhatian penuh dari warga masyarakat lainnya.
Melaksanakan gerakan jamaah dan da'wah jamaah sebagai wujud dari
melaksanakan da'wah Islam di tengah-tengah masyarakat untuk perbaikan hidup baik
lahir maupun batin sehingga dapat mencapai cita-cita masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. (PHIWM hlm. 72)
Sebagai warga
Muhammadiyah, salah satu tugas utama kita adalah berdakwah. Bukan saja
berceramah di mimbar atau di tengah khalayak ramai, tetapi bisa juga sekedar
mengajak kepada orang lain, termasuk keluarga dan tetangga untuk berbuat
kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Karena hakikat dakwah yang sebenarnya
hanyalah berupa seruan atau ajakan, bagaimanapun cara kita melakukannya.
Salah satu tugas
warga Muhammadiyah dalam dakwah adalah menjadi penggerak kebaikan di
masyarakat, memberikan pendapat, arahan, dan contoh amal shalih nyata dalam
bermasyarakat dan bernegara secara Islami. Dalam pertemuan-pertemuan di masyarakat
misalnya, warga Muhammadiyah selayaknya dapat berperan aktif sebagai
penyeimbang dengan memberikan nasihat-nasihat hikmah dan beramar makruf nahi
munkar. Bukan malah larut dan ikut-ikutan jika ada arus keburukan di
masyarakat. Termasuk juga dalam komunitas kajian di masyarakat sudah saatnya
untuk mulai dimunculkan da’i-da’i muda dari kalangan Muhammadiyah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah [9]: 71)
Dari uraian di
atas, terasa sekali betapa masyarakat Islami yang sebenar-benarnya menjadi
sesuatu yang sangat didambakan perwujudannya. Karena itu, perjuangan ke arah
itu harus dilakukan oleh kaum muslimin dengan menempuh jalan-jalan yang benar.
Warga dan pimpinan Muhammadiyah harus menjadi pelopor dan pelangsung pengamalan
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Agar masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya sebagaimana dambaan kita bersama dapat terwujud untuk kemudian
menjadikan negara ini sebuah negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur.
Negeri yang baik, gemah ripah loh jinawi, dan dinaungi ampunan dari Rabbnya.
Semoga! Wallahul musta’an.
Comments