Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Membedah Mundurnya Waktu Subuh

 

“Buku ini sangat fenomenal. Hasil kajian yang hampir setebal 400 halaman ini bukan saja sangat komprehensif, tapi betul-betul second to note karena kebanyakan ahli syariah hanya banyak berkomentar, tapi tidak ada hasil kerjanya.” (Prof. Dr. H. Tono Saksono, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

 

Akhir tahun 2020 yang lalu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke XXXI. Di antara keputusan dalam Munas tersebut adalah tentang kriteria awal waktu subuh. Dalam Tanfidz Munas yang diterbitkan akhir Maret 2021 lalu dijelaskan, kalau awal waktu subuh yang berjalan sebelumnya di Indonesia adalah minus 20 derajat dari ketinggian matahari, maka Munas Tarjih setelah melalui kajian yang mendalam menetapkan bahwa ketinggian matahari awal waktu subuh diubah (dimundurkan) menjadi minus 18 derajat di ufuk bagian timur. Jika dikonversikan ke dalam menit, 1 derajat adalah 4 menit, maka 2 derajat berarti waktu subuh kita bertambah 8 menit dari waktu yang sebelumnya berlaku.

Ternyata kajian tentang polemik awal waktu subuh ini sudah berjalan cukup lama. Di Indonesia, Ustadz Agus Hasan Bashori sudah memeloporinya bersama gurunya, Syaikh Mamduh Farhan Al Buhairi sejak tahun 2009. Bahkan Ustadz Agus Hasan tidak berhenti berkampanye tentang waktu subuh hingga saat ini. Hingga terbitlah buku berjudul “WAKTU SUBUH, Secara Syar’i, Astronomi dan Empiris Edisi Revisi” pada awal 2021 ini. Perjuangan beliau mensosialisasikan waktu subuh ini bahkan sudah pernah disampaikan pada pihak-pihak terkait. Antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Menteri Agama, Ketua MPR RI, dan beberapa ulama di Malaysia.

Buku yang ditulis Dr. KH. Agus Hasan Bashori, Lc, M.A dan dibantu oleh KH. M. Syu’aib Al Faiz, Lc, M.Si ini diklaim paling lengkap oleh penerbitnya. Karena bahannya ditulis sejak tahun 2009 hingga tahun 2020 dengan menggunakan hampir semua pendekatan, yaitu: syar’i, fiqhi, ifta’i, historis, astronomis, empiris dan dialogis. Bahkan secara saintis dan teknologi, penulis juga merujuk kepada penelitian waktu subuh yang dilakukan oleh Prof. Dr. Tono Saksono dan Tim ISRN (Islamic Science Research Network) dari UHAMKA yang bergerak mulai tahun 2016.

Buku yang diterbitkan oleh YBM (Yayasan Bina Al Mujtama’) Malang ini disusun dalam tujuh bab dengan sub-sub babnya. Bab I: Pendahuluan, Polemik Waktu Subuh di Indonesia dan Dunia, Bab II: Perhatian Ulama Terhadap Fajar Shadiq, Bab III: Fajar Shadiq yang Dimaksud dalam Al Qur’an dan As Sunnah, Bab IV: Jawaban atas Syubhat-Syubhat Seputar Koreksi Waktu Subuh, Bab V: Perkembangan dan Harapan, Bab VI: Iqamah Shalat Subuh Harus Mundur, dan Bab VII: Penutup. Hasil Munas Majelis Tarjih juga dikemukakan penulis pada Bab V poin F dengan judul “Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 Mengoreksi Waktu Subuh” (hlm 320-321). Selain itu, buku ini juga semakin lengkap dengan melampirkan foto-foto fajar kadzib dan fajar shadiq dari berbagai wilayah di Indonesia.

Buku ini menjadi semakin menarik karena diberi pengantar oleh para tokoh terkemuka, di antaranya Prof. Dr. H. Tono Saksono (Ketua Tim Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro, M.A Alhafizh (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Pakar Fikih Kontemporer), AR. Sugeng Riyadi, S.Pd, M.Ud (Anggota Tim Falakiyah Kemenag RI, Anggota International Astronomical Center (IAC)), KH. Yusuf Usman Baisa, Lc (Wakil Ketua DPP Perhimpunan Al Irsyad), dan KH. Aslam Muhsin Abidin, Lc (Ketua Perkumpulan Lembaga Dakwah dan Pendidkan Islam Indonesia (PULDAPII)). [M. Nasri Dini]

Covid-19 dan Dinamika Gerakan Muhammadiyah


 

M. Nasri Dini

 

Bagi sebagian kalangan, mungkin saja tahun 2020 merupakan waktu yang sepertinya hilang dari kalender mereka. Hal ini karena hadirnya wabah corona virus disease 2019 (covid-19) yang merubah secara drastis semua aspek hidup mereka. Mulai dari aspek ekonomi, pendidikan, budaya, keamanan, bahkan tidak terkecuali menyangkut pula aspek keagamaan. Semua hal yang sudah diagendakan sejak awal dengan matang pun terpaksa harus di-reschedule, dibuat perencanaan ulang karena situasi darurat pandemi. Setelah datangnya masa-masa yang disebut dengan new normal atau kenormalan baru juga seakan masih sama saja, tidak ada yang terasa baru dan belum ada yang berjalan normal. Semua masih harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar virus tidak semakin menyebar dan kematian yang diakibatkan karenanya tidak semakin bertambah.

Tidak terkecuali dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Menghadapi pandemi yang hingga sekarang belum mereda ini Muhammadiyah terus menerus berupaya untuk memberikan solusi. Dinamika gerakan Muhammadiyah seperti mengalami ujian dalam menghadapi wabah covid-19 ini. Namun bukan Muhammadiyah jika tidak bisa menghadapinya. Di usianya yang sudah mencapai angka 108 dalam hitungan tahun miladiyah (18 November 1912 – 2020), Muhammadiyah selalu bisa membuktikan kematangan dirinya dengan tetap survive dan bisa menghadirkan solusi-solusi konkrit kepada masyarakat pada umumnya maupun warga Muhammadiyah pada khususnya. Bisa dikatakan, Muhammadiyah adalah salah satu gerakan yang terdepan dalam mendukung pemerintah untuk menghadapi wabah covid-19 ini.

Ada banyak sekali dinamika gerakan Muhammadiyah dalam masa pandemi ini, penulis akan menyampaikan beberapa di antaranya.

 

Dinamika Dakwah

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah. Maka salah satu hal terpenting yang sempat ‘terguncang’ karena pandemi adalah terkait dengan gerakan dakwah, baik itu yang mencakup aspek metode, materi, maupun ijtihad dalam dakwah maupun fikih. Ketika awal-awal pandemi, masyarakat sempat syok. Karena seakan semua kegiatan dakwah dilarang. Pengajian, shalat jumat, shalat jamaah, semuanya tidak diperbolehkan. Orang-orang yang ‘bersumbu pendek’ pun banyak yang meramaikan medsos dengan pernyataan-pernyataan negatif. Seperti pro komunis, anti Islam, mazhab baru, dan lain sebagainya.

Tetapi tidak dengan Muhammadiyah. Dengan tenang Muhammadiyah menyiapkan solusi-solusi agar dakwah tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya, meskipun di tengah keterbatasan. Dari segi metode, Muhammadiyah menjadi salah satu pelopor dakwah jarak jauh di masa pandemi ini. Tidak hanya Majelis Tabligh PP Muhammadiyah saja yang bergerak, tapi berbagai majelis dan organisasi otonom (ortom) dari tingkat pusat hingga ranting bahkan juga amal usaha Muhammadiyah (AUM) berbondong-bondong mengaktifkan kembali youtube mereka. Media yang sebelumnya pernah dimiliki tapi mungkin tidak begitu terkelola dengan baik. Yang belum punya akun juga banyak yang membuat akun baru untuk dakwah. Aplikasi video converence seperti zoom dan yang lainnya juga menjadi familiar bagi warga persyarikatan. Facebook, instagram dan twitter pun menjadi media untuk posting dakwah visual secara rutin.

Masyarakat menjadi tersadar bahwa salah satu inti dari keberjalanan dakwah adalah sampainya materi dari da’i (penyampai dakwah) kepada mad’u (objek dakwah). Maka di masa pandemi ini justru bermunculan peluang-peluang dakwah yang dapat dikembangkan oleh persyarikatan maupun warganya. Dakwah tidak harus datang langsung ke masjid atau majelis taklim, tapi cukup di rumah saja. Kalaupun dibutuhkan tatap muka dan berinteraksi langsung, zoom juga bisa menjadi solusi. Meskipun secara ‘rasa’ mungkin saja akan berbeda, tapi substansi dakwah telah tersampaikan.

Dari segi materi, pandemi ini juga menyadarkan masyarakat bahwa ternyata Islam juga punya solusi untuk menghadapinya. Umat kembali diedukasi tentang takdir, juga pentingnya ihtiar dan tawakal. Di antaranya adalah sejarah tentang wabah amwas yang dihadapi oleh Abu Ubaidah bin Jarrah RA saat menjadi Gubernur Syam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA. Kalimat Umar RA, “lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain” pun menjadi kalimat yang cukup familiar di era pandemi ini. Juga nasihat Rasulullah SAW, “ikat dulu untamu, baru bertawakal kepada Allah.” Masyarakat juga bisa mengenal kembali kitab berjudul Badzlul Maun fi Fadhli Thaun karya Imam Ibnu Hajar Al Asqalani yang didakwahkan oleh banyak ustadz dalam berbagai kesempatan. Baru-baru ini bahkan kitab tersebut sudah diterjemahkan oleh beberapa penerbit ke dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, masyarakat juga disuguhkan dengan banyaknya dinamika ijtihad dalam dakwah, utamanya dalam hal pemahaman beragama atau fikih. Terkait shalat menggunakan masker, shalat berjamaah dengan shaf berjarak, shalat jumat di rumah, shalat ‘id di rumah, zakat untuk membantu penanganan covid, penyembelihan hewan qurban di era pandemi, fikih penanganan jenazah covid, hingga ijtihad-ijtihad fikih yang berkaitan dengan haji dan umrah. Artinya, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid selalu merespon dengan cepat permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat di era pandemi ini.

 

Dinamika Amal Usaha

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dengan amal usaha paling banyak di dunia. Mencakup amal usaha di bidang pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, dan masih banyak yang lain. Pandemi ini memaksa Muhammadiyah untuk melakukan penataan ulang terhadap agenda-agenda amal usahanya yang tersebar di seluruh nusantara, bahkan di penjuru dunia. Yang paling terlihat, Muhammadiyah langsung membentuk tim khusus bernama Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC). Badan baru dalam Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari lintas majelis dan ortom ini dibentuk PP Muhammadiyah khusus untuk menangani dan mengantisipasi persebaran covid-19, termasuk memberikan rekomendasi-rekomendari terkait dengannya.

Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) juga beberapa kali memberikan maklumat kepada sekolah dan madrasah, di antaranya agar penyelenggaraan pendidikan bisa dilakukan dengan tanpa tatap muka atau dalam jaringan (daring/online). Kampus-kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA) pun juga menggelar perkuliahan secara daring selama masa pandemi.

Lazis Muhammadiyah (Lazismu) dan ortom Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di berbagai tingkat tidak ketinggalan berperan dalam melewati pandemi. Maka hadirlah program-program solutif dan praktis seperti lumbung pangan, atau program ketahanan pangan yang lain. Kokam di berbagai daerah sejak awal pandemi rutin melaksanakan program penyemprotan desinfektan di fasilitas-fasilitas umum. Kokam Nasional mencanangkan program ketahanan pangan dengan menanam tanaman pangan, baik sayur, buah, dan yang lainnya di rumah masing-masing anggotanya. Terkait sekolah-sekolah Muhammadiyah yang kesulitan dalam menggaji gurunya, Lazismu juga mencoba untuk memberikan bantuannya, meskipun secara jumlah tidak bisa dikatakan banyaak, tetapi patut dipresiasi kepeduliannya.

Yang tidak kalah berperannya adalah rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah. Sejak awal pandemi, tidak kurang dari 80 RSM-A yang turut aktif menangani pasien covid-19. Data resmi website covid19.muhammadiyah.or.id menyebutkan lebih dari 7000 pasien telah ditangani oleh RSM-A di seluruh Indonesia.

 

Dinamika Organisasi

Tentu sudah diketahui oleh khalayak warga Muhammadiyah, bahwa salah satu langkah Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi ini adalah dengan menunda berlangsungnya Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah. Muktamar ke-48 yang sedianya akan digelar pada 1-5 Juli 2020 di Surakarta tersebut akhirnya diurungkan karena pandemi belum mereda. Dampaknya, jabatan pimpinan Muhammadiyah dari pusat hingga ranting diperpanjang hingga digelarnya muktamar nanti. Muhammadiyah memilih untuk memberikan keteladanan pada masyarakat dengan menahan hajatan terbesarnya, karena keselamatan dan kesehatan masyarakat jauh lebih utama.

Muhammadiyah melalui maklumat resminya maupun pernyataan para tokohnya juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk menunda diadakannya pilkada serentak 9 Desember 2020. Meskipun sangat disayangkan, pemerintah mengabaikan masukan Muhammadiyah dan memilih tetap menggelar pemilihan gubernur, walikota dan bupati tersebut.

 

Muhammadiyah dan Vaksin Covid-19

Yang terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa Muhammadiyah adalah salah satu elemen masyarakat yang mendukung program vaksinasi covid-19 yang digulirkan oleh pemerintah. Tentunya setelah semua kaidah keamanan, keefektifan, dan kehalalan vaksin terpenuhi sesuai standar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Muhammadiyah berharap agar pemerintah menerapkan strategi komunikasi, edukasi, dan kampanye yang tepat terkait fungsi vaksin, serta memastikan proses monitoring dan evaluasi pascavaksinasi.

Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Kesehatan dr. H. Agus Taufiqurrahman, S.Ps, M.Kes menyampaikan bahwa Muhammadiyah dengan infrastruktur kesehatannya ikut menyukseskan vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19. Dokter Agus juga berpesan walaupun telah divaksinasi, masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dalam penegakan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dan 3T testing, tracing, treatment.

 

Penutup

Ustadz Dr. H. Syamsul Hidayat dalam tulisan beliau pada majalah ini edisi Januari 2021 mengatakan, bahwa musibah pandemi covid-19 benar-benar membuktikan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Bahwa bagi umat beriman, musibah pasti mendatangkan hikmah, karena musibah merupakan wujud kasih sayang Allah kepada umat beriman. Bahkan musibah yang dihadapi dengan kesabaran dan usaha akan menghadirkan pahala yang besar dari Allah. Wallahul musta’an

*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 02/XIX | Jumadil Akhir 1442 H/Februari 2021

Pandemi dalam Perspektif Ibnu Hajar Al Asqalani


 

“Buku ini membuktikan bahwa kaidah syariat Islam tidak bertentangan dengan keilmuan kesehatan, khususnya terkait pandemi. Buku ini juga memberikan panduan bagi kita bagaimana bersikap terhadap protokol kesehatan.” (Dr. Corona Rintawan, Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah)

 

Dunia belum juga mereda dari pandemi coronavirus disease 2019 (covid-19). Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten di seluruh negara di dunia, virus corona jenis baru yang berawal dari Wuhan China tersebut masih saja menyebar hingga kini. Yang terbaru, pemerintah berbagai negara melalui otoritas kesehatan masing-masing melangkah dengan program vaksinasi, tak terkecuali di Indonesia. Sejatinya wabah atau pandemi tidak hanya dapat ditemui di zaman modern sekarang ini, tapi dalam lintasan sejarah berbagai pandemi ternyata sudah berulang kali melanda umat manusia, baik dalam skala lokal, regional, maupun global.

Dalam catatan sejarah Islam para ulama pun juga sudah ada yang menulisnya di dalam kitab-kitab karya mereka. Di antaranya Syamsuddin Muhammad bin Ali Ash Shalihi dengan Tuhfan an Nujaba’ bi Ahkam ath Tha’un wa al Waba’ (Karya Agung Terbaik Mengenai Hukum Tha’un dan Wabah), Ibnu Najim dengan Risalah fi ath Tha’un wa al Waba’ (Risalah dalam Permasalahan Tha’un dan Wabah), Al Hattab ar Raniri al Maliki dengan ‘Umdah ar Rawin fi Ahkam ath Thawa’in (Referensi Para Rawi Masalah Tha’un), Zakariya al Anshari dengan Tuhfah ar Raghibin fi Bayan Amr ath Thawa’in (Karya Para Pencari ilmu dalam Menjelaskan Perkara Tha’un).

Salah satu kitab paling terkenal yang membahas tentang tha’un (wabah, penyakit menular atau pandemi) adalah karya Syaikhul Islam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani (1372-1449 M/773-852 H). Ulama salaf ahli hadis terkenal penulis kitab Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari tersebut diketahui juga memiliki kitab berjudul Badzlul Ma’un fi Fadzlith Tha’un. Kitab yang baru-baru ini mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara judul terjemahannya adalah “Kitab Wabah & Taun dalam Islam” yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur dan diterbitkan oleh Turos Pustaka Jakarta pada Agustus 2020 yang lalu.

Konon, kitab ini disusun oleh Imam Ibnu Hajar karena banyak dari sahabat beliau yang meminta kepadanya untuk mengumpulkan hadis-hadis tentang tha’un dan menjelaskan kandungan makna hadis tersebut. Ibnu Hajar menulisnya dalam dua tahap, yang pertama yaitu pada tahun 819 H/1416 M, setelah sempat berhenti, kemudian dilanjutkan kembali hingga selesai pada tahun 833 H/1430 M. Beliau menyelesaikannya juga dalam masa pandemi di masanya. Bahkan sempat muncul bid’ah di tengah-tengah masyarakat berupa seruan untuk berdoa bersama dengan berkumpul di suatu tanah lapang seperti halnya shalat istisqa’. Hal yang dirasa baik oleh sebagian orang tetapi justru menjadi area efektif untuk penyebaran wabah. Korban di Kairo yang awalnya hanya 40an orang saja membengkak berkali lipat bahkan mencapai seribu orang. Selama pandemi pada masa itu, bahkan Ibnu Hajar juga kehilangan tiga putrinya yang meninggal karena wabah.

Kitab ini disusun oleh Al Hafizh dalam lima bab, diawali dengan mukadimah dan diakhiri dengan penutup. Bab pertama: permulaan tha’un, terdiri dari empat pasal. Bab kedua: definisi tha’un, terdiri dari sembilan pasal. Bab ketiga: penjelasan tentang tha’un sebagai gerbang kesyahidan, terdiri dari sepuluh pasal. Bab keempat: hukum keluar dari wilayah terjadinya tha’un dan hukum memasuki wilayah itu, terdiri dari empat pasal. Bab kelima: syariat yang perlu dilakukan setelah terjadinya tha’un, terdiri dari lima pasal. Dan pada penutup, Ibnu Hajar mencatat berbagai tha’un yang pernah terjadi pada masa Islam, terdiri dari satu pasal. Pada versi terjemahannya, penerbit juga menyertakan frequently asked questions (FAQ) atau tanya jawab seputar Covid-19.

Dalam bab pertama yang disajikan secara singkat oleh Imam Ibnu Hajar dijelaskan bahwa wabah adalah azab bagi orang kafir dan rahmat bagi orang-orang beriman. Di antara dalil yang beliau ketengahkan adalah hadis dalam Sahih al Bukhari yang diriwatkan oleh Aisyah RA, “Itu (tha’un) adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin.” (HR. Al Bukhari)

Pada bab selanjutnya, Al Hafizh menjelaskan secara panjang lebar definisi tha’un. Mulai dari asal kata tha’un hingga doa-doa yang bisa dipanjatkan untuk membentengi diri dari tha’un. Banyak pendapat ulama yang dicantumkan oleh Ibnu Hajar sebelum menyimpulkan tentang definisi tha’un menurut beliau. Intinya, tha’un adalah penyakit yang menyerang banyak orang di banyak tempat dalam satu waktu dan berbeda dari penyakit yang biasanya, di antara penyakit itu dapat menyebabkan banyak kematian. Dalam satu pasal di bab kedua ini, Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa tha’un bisa jadi berbeda dengan wabah pada umumnya. Menurut beliau, makna tha’un lebih sempit dari sekedar wabah pada umumnya. Kalau wabah bisa dimaknai secara umum sebagai penyakit yang menyerang banyak orang, sedangkan dalam tha’un ada aspek ‘serangan jin’ di dalamnya. Artinya, tha’un tidak sekedar berbentuk penyakit fisik semata, setapi juga menyerang secara batin.

Selanjutnya pada bab ketiga Imam Ibnu Hajar menyampaikan banyak hadis opitimisme. Yaitu hadis-hadis yang menerangkan bahwa tha’un adalah gerbang kesyahidan. Bahwa syahid tidak selalu diraih dalam pertempuran atau jihad fi sabilillah saja, tetapi juga dari tha’un. Di antaranya hadis, “Para syuhada ada lima: orang yang mati terkena tha’un, orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa bangunan, dan orang yang mati di jalan Allah.” (HR. Al Bukhari)

Karantina mungkin istilah modern yang tepat untuk menggambarkan bab keempat. Bahwa saat wabah melanda, penduduk yang terkena wabah dilarang untuk keluar dan penduduk dari luar dilarang untuk masuk. Ini seperti sabda Rasulullah yang dikatakan oleh Abdurrrahman bin Auf RA kepada Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA saat akan memasuki Syam padahal tengah dilanda pandemi. “Apabila kalian mendengar itu terjadi di suatu tempat, maka janganlah kalian datangi tempat itu, dan apabila itu terjadi di suatu tempat yang kalian sedang berada di situ, maka janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang muslim jika wabah melanda? Ibnu Hajar menjawabnya dalam bab kelima. Yang pertama tentu saja adalah berdoa dan menyandarkan semuanya kepada Allah. Sabar dan husnuzan pada-Nya adalah salah satu kunci untuk poin ini. Setelah itu tetap wajib untuk berihtiar secara manusiawi agar wabah tersebut bisa segara hilang. Di antaranya dengan berobat dan menjaga diri dari hal-hal yang disarankan oleh tabib (dokter). Karena berkenaan dengan kesehatan, maka yang lebih berkompeten adalah dokter dan para ahli di bidang medis.

Pada penutup Al Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan 4 tha’un besar yang pernah melanda sebelum atau pada masa beliau. Di antaranya: (1) Tha’un Syirawaih, terjadi di Madain pada masa Rasulullah SAW; (2) Tha’un Amwas, terjadi pada masa Umar bin Khatab RA; (3) Tha’un Jarif, terjadi pada tahun 69 H/689 M; dan (4) Tha’un Fatayat, terjadi pada tahun 87 H/706 M. Selain keempat tha’un besar tersebut, masih ada beberapa tha’un yang tidak sebesar 4 tha’un tersebut.

Buku ini diklaim oleh penerbitnya sebagai buku terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia atas kitab Badzlul Ma’un karya Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Salah satu keistimewaan buku terjemahan ini adalah diterbitkan bertepatan dengan masa-masa wabah covid-19 melanda Indonesia bahkan dunia. Meskipun sudah ditulis sejak 590 tahun yang lalu, tapi buku ini menjadi lebih terasa spesial untuk dibaca karena aktualnya. Sehingga pembaca bisa mengetahui bagaimana dahulu umat Islam menghadapi pandemi dan apa saja pelajaran yang bisa diambil sekarang.

Edisi terjemahan ini pun mendapatkan banyak sambutan dari para tokoh nasional. Di antaranya Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin. Beliau mengatakan bahwa buku ini penting untuk dibaca karena banyak ilmu dan pengalaman umat Islam terdahulu yang dapat dipetik. Misalnya tentang protokol jaga jarak, aturan tidak boleh keluar masuk daerah wabah, dan tata cara perilaku hidup sehat.

Jubir Pemerintah untuk Covid-19 Ahmad Yurianto juga menyampaikan endorsement-nya untuk buku ini. “Penulis adalah ulama sekaligus penyintas dalam pandemi abad ke-15. Bila kita baca buku ini, jelaslah bahwa sains ternyata masih satu tarikan napas dengan dogma Islam dalam konteks pandemi. Dan keduanya secara solutif telah mengambil bagian integral yang saling melengkapi dalam menghadapi pandemi covid-19 ini.”

Selain dua tokoh di atas, ada juga komentar dari Dr. Corona Rintawan (Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah), Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum (Pakar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr. H. Zainut Tauhid Sa’adi (Wakil Menteri Agama RI), Dr. M. Makky Zamzami, MARS (Ketua Satgas Covid-19 PBNU), Dr. Adnin Armas, M.A (Pimpinan Redaksi Majalah Gontor), Ahmad Mukafi Niam (Pimpinan Redaksi NU Online), Erdy Nasrul (Wartawan Republika), dan TB Arie Rukmantara (Sejarawan Pandemi Indonesia). [M. Nasri Dini]

 

*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 02/XIX | Jumadil Akhir 1442 H/Februari 2021 M

SMP Imam Syuhodo Salurkan Dana Peduli Bencana Melalui Lazismu


Sukoharjo - SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo menyetorkan hasil penggalangan dana peduli bencana kepada Kantor Layanan Lazismu Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Blimbing. Penyetoran diterima oleh petugas Lazismu Cabang Blimbing, Muhammad Iqbal di komplek sekolah, Jumat (5/2/2021). Dana yang disetorkan kali ini berjumlah Rp. 5.385.000,-.

Wakil Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Muhammad Fatkhul Hajri, S.Pd menerangkan bahwa ini merupakan hasil penggalangan dana yang dilakukan oleh sekolah beberapa waktu lalu.

"Dana ini didapatkan dari para santri, orang tua/wali santri, serta asatidzah dan karyawan SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo," tambahnya.



Dirinya pun mengucapkan terima kasih kepada segenap keluarga besar sekolah yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk membantu para korban bencana di Indonesia.

Fatkhul Hajri juga mengatakan bahwa PCM Blimbing melalui Lazismu sampai sekarang juga masih terus melakukan penggalangan dana dalam rangka peduli bencana di Indonesia.

"Maka bagi siapa saja yang masih berkenan untuk memberikan bantuan dana peduli bencana, bisa dititipkan di bagian keuangan sekolah untuk selanjutnya akan kami setorkan melalui Lazismu Cabang Blimbing," pungkasnya.

Khutbah Jumat: Jalin Silaturrahmi Pasca Pilkada

 

MUHAMMAD NASRI DINI

 

Khutbah Pertama:

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه

 اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Pertama khatib berwasiat agar kita semua senantiasa bertakwa kepada Allah SwT dengan sebenar-benarnya takwa. Karena dengan sebenar takwa itu, kita akan bertemu Allah SwT dengan membawa sebaik-baik bekal. Selanjutnya shalawat dan salam semoga senantiasa Allah SwT curahkan kepada junjungan agung kita, teladan umat sepanjang zaman, Rasulullah Muhammad saw, beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang istiqamah di jalan beliau hingga akhir zaman nanti.

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Hajatan besar negara kita, yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak secara nasional baru saja selesai digelar. Kini telah terpilih gubernur, wali kota dan bupati baru di banyak daerah di Indonesia. Sayangnya, selain menyisakan banyak kritik karena dilaksanakan di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang masih melanda negeri ini, seperti biasanya ajang pemilihan dan perebutan kekuasaan selalu menyisakan masalah dari segi persatuan dan kerukunan. Noda-noda ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah selalu saja menjadi PR selama dan pasca pemilihan.

 

Allah SWT berfirman,

 

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

 “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (Qs. Ar Ra’d [13]: 25)

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Seringkali dalam dukung mendukung calon tertentu, pasti ada saling menyakiti, saling memfitnah, dan cara-cara merusak ukhuwah yang lain. Tidak jarang ini terjadi pada sesama anak bangsa, bahkan sesama muslim. Sesama tetangga dan rekan kerja pun juga banyak yang berseteru karena beda pilihan. Maka sudah waktunya bagi kita semua untuk menutup semua luka tersebut. Jangan biarkan jurang permusuhan itu terus menganga. Berhenti sampai di sini, jangan kita perpanjang lagi. Saatnya kembali sambung silaturrahmi yang mungkin selama ini sempat putus, disengaja atau tidak. Nabi saw bersabda,

 

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

 “Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Ingatlah bahwa yang membantu kita saat kesusahan bukan orang yang kita dukung. Yang menjenguk saat kita sakit bukan bupati yang terpilih. Bahkan yang melayat saat kita meninggal nanti juga bukan gubernur atau wali kota yang kita mati-matian fanatik kepada mereka. Tetapi yang melakukan itu semua adalah orang-orang dekat di sekitar kita, tetangga, kerabat, rekan kerja, dan sebagainya. Tentu kita tidak ingin merusak begitu saja hubungan baik dan memelihara permusuhan dengan mereka hanya karena beda pilihan, beda tokoh yang didukung. Jangan sampai rejeki kita disempitkan dengan adanya permusuhan dan saling menyakiti tersebut. Rasulullah saw bersabda,

 

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

  “Siapa yang suka diluaskan rezekinya atau dipanjangkan umurnya maka jalinlah silaturahmi.” (HR. Al Bukhari)

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Dalam ayatnya Allah SwT bahkan menyebutkan tentang pentingnya menyambung silaturrahmi dan berbuat baik kepada orang-orang terdekat ini persis setelah perintah menyembah Allah SwT dan menjauhi syirik. Allah SwT berfirman,

 

وَٱعْبُدُوا ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِۦ شَيْـًٔا وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Qs.An Nisa [4]: 36)

 

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

Khutbah Kedua:

 

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَافِ الأَنْبِيَاءِ وَالمرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Sejatinya masalah kekuasaan tidak lepas dari takdir dan ketentuan dari Allah SwT. Seperti disebutkan dalam firman-Nya,

 

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 “Katakanlah, Allahlah yang memiliki kuasa. Dia akan menganugerahkan kuasa kepada siapa yang dikehendaki dan Dia pula akan mencabut kuasa dari orang yang dikehendaki. Dia akan memulyakan orang yang dikehendaki serta menghinakan orang yang dikehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]: 26)

 

Hadirin Sidang Jum’at yang dirahmati Allah...

Maka kita harus segera move on dari masalah pilkada. Mari segera ganti kepada fokus yang lain. Jangan sampai kita terus asyik dan menyibukkan diri dengan bahasan masalah pilkada sehingga menguras energi dan merusak produktifitas kita. Entah itu produktifitas dalam bekerja meraih rizki Allah SwT untuk dunia kita, apalagi jika sampai merusak produktifitas amal kita dalam beribadah kepada Allah SwT. Jangan sampai itu terjadi. Allah SwT berfirman,

 

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Qs. Al Insyirah [96]: 7)

 

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَا أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

 سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

 

Muhammad Nasri Dini, S.Pd.I, Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah, Anggota Majelis Tabligh PCM Blimbing

 

*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 02 tahun 106 | 16-31 Januari 2021 M | 2-17 Jumadal Akhirah 1442 H


Mewaspadai Da’i Penumpah Darah


 

Muhammad Nasri Dini

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

 

Beberapa waktu lalu kita disuguhkan dengan kebrutalan berseragam penguasa. Di mana ada enam orang muslim, tanpa alasan yang jelas, tanpa ada ketok palu putusan hakim dalam persidangan, dibunuh dengan semena-mena. Meskipun bisa jadi enam orang tersebut bukan keluarga kita, bukan tetangga kita, bukan pula teman kita, dan kita tidak mengenalnya secara langsung, bukan juga satu organisasi dengan kita, tapi kita patut prihatin dan bersedih dengan kematian mereka. Karena yang kita ketahui mereka juga adalah orang muslim. Di kalangan komunitasnya, bahkan mereka termasuk orang-orang yang dikenal sebagai pejuang.

Hal ini kembali mengingatkan kita dengan ceramah salah satu da’i yang menyebut dirinya pengikut salafush shalih beberapa tahun silam. Dalam ceramahnya dia dengan menggebu-gebu mengatakan bahwa hukumnya boleh menumpahkan darah demonstran. “Makanya nih di Islam, di syariat Islam, yang kayak begini, nasihatin, peringatkan, bubar! Karena kalian mengganggu ketertiban dan mashlahat umum. Masih nggak bubar. Bubar! Perintahkan lagi. Masih nggak mau. Bubar! Perintahkan lagi. Nggak mau sampai tiga kali, tumpahin darahnya! Ini sampah masyarakat. Tumpahin darahnya biar cepet! Khawarij kok. Bughat. Lumayan mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta. Tumpahin sampah ini.” Di kesempatan lain da’i yang sama juga pernah menyebut bahwa para aparat itu adalah orang-orang yang berjihad dengan apa yang telah mereka lakukan.

Da’i lain ada juga yang menyebut bahwa membunuh teroris itu adalah ijtihad. Saat berceramah di depan para petugas berseragam coklat, dia mendapatkan pertanyaan tentang perintah membunuh teroris oleh Densus 88. Dalam jawabannya dia mengatakan, “Pak Densus itu kan hanya melaksanakan tugas saja, mereka sudah berusaha untuk mencari para teroris yang memang mereka itu tersangka berbuat tindakan keonaran dan sebagai pelaku terorisme. Kalau mereka sudah berusaha ternyata salah orang, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Karena dalam Islam saja pak, seseorang sudah berusaha ijtihad dan berusaha untuk mengetahui suatu permasalahan kemudian salah, maka diberikan pahala satu. Kalau misalnya orang-orang Densus itu sudah diperintahkan oleh pemerintah, kamu harus cari para teroris itu, kemudian mereka sudah melaksanakan tugas, ternyata salah orang qadarallah, gimana? Sementara sudah berusaha. Semoga Allah memaafkan. Yang terpenting mereka sudah berusaha sekuat tenaga.”

Memang setelah munculnya beberapa ceramah tersebut, banyak ulama dan para tokoh yang masih lurus dari umat ini yang sudah meluruskan dan membantah pendapat-pendapat nyeleneh tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri, ceramah dari da’i-da’i yang semacam ini mungkin saja dijadikan sebagai legitimasi dan pengesahan oleh oknum-oknum aparat untuk menghabisi nyawa pihak-pihak yang berseberangan dengan penguasa. Ceramah ini seolah menjadi stempel syariat Islam bagi aparat untuk berbuat semena-mena. Karena disebut sebagai teroris, khawarij, pemberontak, bughat. Ironisnya, ceramah provokatif yang pertama penulis sebutkan tadi juga disambut dengan tawa riuh dari jamaah yang hadir dalam pengajian ustadz tersebut. Padahal dia telah dengan mudahnya membolehkan untuk membunuh kaum muslimin yang dia sebut sebagai khawarij.

Padahal saat kita menengok kembali pada lembaran sirah nabawiyah, menjelang diwafatkannya Rasulullah SAW oleh Allah SWT. Pada peristiwa Haji Wada’ beliau pernah berpesan dengan pesan yang sangat penting untuk kita telaah kembali pada akhir zaman ini. Bahwa setelah beliau menekankan kembali tentang masalah ketauhidan dan masalah keikhlasan, perkara besar yang beliau pesankan dan tekankan adalah tentang penjagaan terhadap hak-hak sesama muslim. Juga peringatan keras beliau terhadap pelanggaran hak-hak sesama muslim. Baik itu hak-hak yang berkaitan dengan darah, harta dan kehormatan seorang muslim. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, darah, harta, dan kehormatan kalian adalah suci seperti sucinya hari ini (hari Arafah), seperti sucinya bulan ini (bulan Dzulhijjah), dan seperti sucinya negeri ini (Makkah), hingga hari kalian bertemu Rabb kalian.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Selayaknya bagi setiap orang yang mengaku sebagai muslim, dalam posisi apapun dia, pejabat atau rakyat biasa, aparat atau hanya masyarakat, untuk dapat merenungi pesan dalam khutbah Rasulullah SAW tersebut. Termasuk juga para ulama, da’i, ustadz, mubaligh dan tokoh-tokoh terkemuka di kalangan umat yang kata-katanya diikuti dan menjadi panutan umat, wajib untuk meresapi pesan Nabi SAW ini. Di mana di dalam khutbah ketika Haji Wada’ tersebut terdapat nasihat-nasihat beliau yang agung. Sehingga kita akan menemukan bahwa beliau sangat menekankan pada perkara ini dan betul-betul memperhatikan terhadap hal ini.

Dalam pesan Rasulullah SAW ini, ada tiga hal yang harus dijaga dari sesama muslim, yaitu: pertama: haramnya darah. Dalam penjelasan Nabi SAW yang agung mengenai mulianya darah seorang muslim, terdapat larangan keras dari Nabi SAW terhadap pembunuhan jiwa yang Allah SWT haramkan untuk membunuhnya kecuali dengan hak. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra’[17]: 33)

Menumpahkan darah kaum muslimin hanya diperbolehkan karena qisas, hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah, atau karena seseorang keluar dari agama Islam (murtad). Tentunya semua ini dilakukan setelah adanya putusan yang mengikat dari hakim dan tidak dilakukan dengan semena-mena tanpa alasan yang jelas. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 32)

Di antara dosa besar yang sangat diingkari oleh Allah SWT adalah dosa karena membunuh seorang muslim. Bahkan ia adalah dosa terbesar setelah syirik. Dan tidak ada dosa yang begitu banyak dalil menjelaskan dahsyatnya ancamannya seperti dosa membunuh. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 93)

Kedua, haramnya harta. Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah harta. Sesama kaum muslimin harus saling menjaga harta saudaranya yang lain. Jangan sampai kita merampas harta orang lain secara zalim. Jangan menipu atau berutang dengan niat tidak membayar. Semua perbuatan ini juga terlarang sebagaimana terlarangnya menumpahkan darah kaum muslimin. Sungguh, merupakan kejadian yang benar-benar memalukan, jika ada seorang yang mengaku muslim tapi memakan harta saudaranya muslim yang lain dengan cara yang zalim dalam masalah perdagangan atau utang piutang hingga terjadi permusuhan di antara mereka. Masalah ini bisa menjadi besar dan berbahaya. Semuanya berawal hanya karena tidak dijaganya harta sesama muslim.

Haramnya harta seorang muslim ini bahkan sampai-sampai disebutkan jika ada orang yang hendak merampas harta yang kita miliki, maka harus kita pertahankan dengan sekuat tenaga. Jika kita sampai gagal mempertahankannya dan bahkan harus mati di tangan perampok atau begal tadi, maka kematian kita terhitung sebagai seorang yang mati dalam keadaan syahid. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.” (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i)

Ketiga, haramnya kehormatan. Jika dia seorang muslim, maka wajib untuk kita jaga kehormatannya. Dan haram bagi kita untuk melecehkan keormatan seorang muslim dan menyebutnya dengan sebutan-sebutan yang jelek. Tapi sangat disayangkan ada juga da’i panutan umat yang dengan bangganya menjelek-jelekkan kehormatan umat Islam lain yang tidak satu kelompok dengannya, atau berbeda pendapat dengannya. Sehingga sebutan-sebutan khawarij, teroris, anjing-anjing neraka, bughat, bisa dengan ringan ditujukan kepada saudara sesama muslim. Di kesempatan lain bahkan pula seorang yang dikenal sebagai ustadz menyebut nama ormas Islam dan diplesetkan menjadi nama yang jelek, FPI disebutnya sebagai ‘Front Penghancur Islam’, Al Irsyad diselewengkan menjadi ‘Al Ifsad (pembuat kerusakan)’, dll.

Allah SWT berfirman, “Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing sebahagian yang lain.” (QS. Yusuf [12]: 87) Jika mencari-cari kesalahan saja dilarang oleh Allah SWT, apalagi jika dengan terang-terangan menyebutkan kejelekan sesama muslim, apalagi jika kejelekan itu sebenarnya tidak ada pada pihak yang dijelek-jelekkan. Hingga tak mungkin dia tega menyebut orang-orang yang meninggal dalam aksi demo adalah bangkai jahiliyah.

Sebagai seorang yang mengaku sebagai muslim, hendaknya kita selalu memperhatikan tiga perkara yang agung ini dan menjaganya dengan penjagaan yang sungguh-sungguh. Kita harus menjaga agar darah kaum muslimin tidak tertumpah dengan cara yang zalim. Begitu pula dengan harta dan kehormatan mereka. Darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin adalah suci, sebagaimana sucinya hari Arafah, sucinya kota Makkah, dan sucinya bulan Dzulhijjah. Maka kita harus menjaga kemuliaan darah, harta, dan kehormatan sesama muslim sebagaimana kita menjaga kemuliaan hari Arafah, kota Makkah, dan bulan Dzulhijjah. Takutlah kita jika bertemu Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan bersimbah dosa karena perbuatan melanggar darah seorang muslim atau kehormatannya, juga hartanya. Karena perkara tersebut tidaklah ringan di sisi Allah SWT. Wallahul Musta’an

 

*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 1/XIX Jumadil Awal 1442 H/Januari 2021 M