BILA SEMANGAT JUANG MEMUDAR
Oleh: Andika Rahmawan
Guru SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Blimbing Sukoharjo
Berbagai
godaan dan tekanan hebat yang melanda medan dakwah seringkali membawa virus
futur yang mewabah dan menjangkiti para aktifisnya. Sebuah penyakit yang harus
diwaspadai oleh para aktifis gerakan Islam. Karena jika dibiarkan begitu saja akan
berakibat sangat fatal. Tak cuma semangat yang menjadi luntur, bahkan aqidah
pun bisa melayang dibuatnya.
Futur
berasal dari bahasa arab yang artinya terputus, berhenti, malas dan lambat,
setelah sebelumnya rajin dan konsisten. Dalam konteks dakwah, futur bermakna
kondisi menurunnya semangat beriman dan beramal shalih serta melemahnya ghirah
seseorang dalam berjihad dan berdakwah. Futur terdiri dari banyak tingkatan.
Yang paling ringan adalah apabila seseorang mengalami penurunan kualitas
ruhiyah, ibadah serta amal shalih. Kemudian beranjak pada berkurangnya
kuantitas ibadah dan amal shalih. Lebih jauh lagi adalah tingkatan yang mulai
meninggalkan sama sekali ibadah dan amal shalih tersebut. Dan terakhir yang
paling parah adalah meninggalkan keimanan sama sekali (Untung Wahono, 2006 :
21)
Dalam
konteks dakwah kontemporer, fenomena futur sering muncul dalam beberapa kasus.
Seorang ustadz pernah bercerita, “Kita adalah orang yang insya Allah
telah teruji daya tahan kita dalam menghadapi masa-masa sulit. Namun belum
teruji di saat memasuki masa-masa mudah. Dulu adalah hal biasa salah seorang di
antara kita berjalan kaki dari Bogor ke Puncak untuk mengisi daurah di
sebuah villa pinjaman, karena kita tak punya uang. Kita kuat.”
Beliau
khawatir para kader dakwah justru akan mengalami futur disaat memasuki
masa-masa mudah. “Saya justru khawatir ketangguhan itu hilang di saat kita telah
mampu ke Puncak dengan mobil sendiri, disaat kenikmatan dunia mulai berada di
sekitar kita.”
Dalam
sebuah hadist Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mengingatkan
kepada kaum Muslimin di Madinah yang berlomba-lomba mendapatkan pembagian harta
hasil jizyah, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi
Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tetapi yang aku
khawatirkan adalah kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah
dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan
berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya
dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.”
(H.R. Muslim)
Menurut
Ustadz Hamim Thohari (2006), ada tiga jenis kefuturan yang menimpa para aktivis
dakwah. Pertama, aktivis yang ditinggalkan. Umumnya mereka adalah para
pemalas yang tidak mau mengasah dirinya dengan menambah berbagai ilmu keislaman
dan kreatifitas dakwah. Mereka tidak punya kesungguhan untuk memperbaharui (update)
dan meningkatkan diri (upgrade) meraka secara terus menerus. Karenanya
kualitas ke-Islamannya dangkal, kiprah dakwahnya juga hambar dan tidak
berkembang, padahal lingkungan sekitarnya terus berubah dan mengalami kemajuan
demi kemajuan. Meraka sebenarnya tidak pantas lagi menyandang predikat sebagai
seorang aktifis dakwah, karena mereka pasif. Bukankah seorang Muslim setiap
harinya harus lebih baik?! Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Merugilah
orang yang hari ini sama dengan kemarin, dan celakalah mereka yang hari ini
lebih buruk dari kemarin.
Kedua,
aktivis yang ditinggalkan. Mereka adalah mantan aktivis yang telah melakukan kesalahan
fatal, baik dari segi aqidah, syari’ah, atau akhlaq. Setiap aktivis harus
menyadari bahwa diri mereka adalah pemimpin dan penggerak perubahan. Meraka
harus sadar bahwa ribuan pasang mata selalu memandang dan mengawasi gerak-geriknya.
Masyarakat akan mengikuti jika mereka berlaku baik dan benar, tetapi mereka
akan meninggalkannya ketika para aktivis itu mulai melakukan kesalahan,
penyelewengan, apalagi sampai pada penyimpangan. Aktivis yang tidak bisa
menjadi teladan, cepat atau lambat pasti akan ditinggalkan. Mereka akan futur,
putus di tengah jalan.
Ketiga,
aktivis yang meninggalkan. Mereka adalah mantan aktifis yang tidak sabar dan tidak
istiqomah menapaki jalan perjuangan yang terjal dan panjang. Mereka tidak tahan
menghadapi cobaan dan rayuan. Mereka juga tidak kuat menahan derita yang kadang
sangat panjang dan menyakitkan. Belum lagi fitnah yang kadang datangnya tak
terduga. Semua ini membuat mereka putus ditengah jalan. Mereka meninggalkan
arena perjuangan dengan berbagai alasan. Ada yang ingin menata ekonomi
keluarganya, membenahi sekolahnya, ingin menjadi masyarakat biasa, ingin uzlah
supaya khusyu’ beribadah, dan banyak lagi alasan yang lain. Pada intinya mereka
tidak tahan lagi hidup sebagai aktifis.
Sedangkan menurut Irfan S. Awwas (2007) para aktivis yang bergelut di medan dakwah mempunyai beberapa musuh, diantaranya yaitu: (1) Kekuatan tirani (penguasa thaghut); (2) Putus asa dari kemenangan; (3) Keruwetan hidup dan kesulitan ekonomi; (4) Sikap individualis dan egois; (5) Tunduk pada rutinitas dan menyerah pada kenyataan; (6) Melemparkan tanggung jawab; (7) Konspirasi kaum kafir dan munafik; (8) Nyaman pada kemapanan hidup; (9) Terlalu lama beristirahat; dan (10) Merasa aman dari rintangan.
Maka,
ada dua kunci yang harus kita miliki untuk menakhlukkan semua rintangan dan
kefuturan itu agar kemudian dapat meraih kemenangan dalam berdakwah. Yang
pertama adalah Ikhlas. Ikhlas bukanlah ucapan yang hanya terlontar di lidah,
huruf yang tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan
untuk kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak
oleh mata. Ikhlas adalah ‘permata’ yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang
merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan
menjadi sebab terbukanya gerbang ketentraman dan hidayah dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa
keikhlasan tak ada amal yang akan diterima.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan
tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (H.R. Muslim)
Ikhlas
adalah rahasia kesuksesan dakwah para nabi dan rasul serta para pendahulu kita
yang shalih (salaf ash shalih). Berapapun jumlah orang yang tunduk
mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan
tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun ayahnya
sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam
yang diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja,
bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.
Mereka
adalah suatu kaum yang mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala karena keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena ilmu dan amalan yang
mereka miliki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang
shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Q.S.
an-Nisa’ [4] : 69)
Kalau
kita memang ikhlas niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita
mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain.
Kalau kita memang ikhlas, maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita
sepelekan. Kalau kita memang ikhlas, maka kita akan selalu beramal meskipun tak
ada seorangpun yang melihat dam memuji amalan kita.
Sedangkan
kunci yang kedua adalah ittiba’, berpegang teguh kepada jalan dakwah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Takkan ada kekuatan apapun yang dapat
mempertahankan benteng kebenaran kecuali dengan pertolongan-Nya. Dan
pertolongann-Nya tidak akan diberikan kecuali hanya akan diberikan kepada para
aktivis yang tetap berdiri tegak diatas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan selalu istiqamah menjadikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai
sebaik-baik teladan (uswah hasanah) dalam setiap sendi kehidupan yang
dijalaninya.
Siapa
saja yang berpaling dari tuntunan Alquran dan Sunnah sahihah dari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam saat senang maupun susah, bahagia maupun menderita, dikala
sempit maupun lapang, maka ia akan ditemani setan, baik setan dari jenis jin
maupun manusia yang akan selalu menyesatkan dan menghalangi mereka dari jalan
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan
kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan
besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab.”
(Q.S. Az Zukhruf [43] :43-44)
Wallahu
A’lam
Comments