Oleh: Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si
Ketua Umum PP Muhammadiyah
Tahun ini,
kaum Muslimin memperingati peristiwa agung Isra' Mikraj pada 27 Rajab 1443
Hijriyah, atau bertepatan dengan Senin, 28 Februari 2022. Al-Qur’an sendiri
menyampaikan keagungan Isra' Mikraj dalam ayat pertama Surat Al-Isra’.
Isra'
Mikraj memiliki nilai inklusif bagi kehidupan kemanusiaan dan semesta yang
terjabarkan dalam tiga makna.
Pertama, adalah makna kekuasaan. Isra'
Mikraj Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hingga Sidratul
Muntaha mengandung pesan bahwa di atas pencapaian ketinggian ilmu manusia,
masih ada kekuatan ilahiyah yang tidak selalu bisa dirasionalisasi oleh
pencerapan dan ilmu pengetahuan manusia.
Isra'
Mikraj menunjukkan bahwa di balik kekuasaan manusia yang bersifat profan atau
duniawi, ada kekuasaan Allah SWT—kekuasaan Tuhan yang bersifat
ruhaniyah-ilahiyah, divine power, atau kekuasaan yang sakral.
Maknanya
adalah, siapa pun—baik itu manusia, sekelompok manusia, organisasi, bahkan
negara, lebih jauh lagi antarnegara—yang memiliki kekuasaan duniawi, jangan
menyalahgunakan kekuasaan. Karena di balik kekuasaan duniawi, ada divine power,
kekuasaan ilahi, kekuasaan sakral Allah SWT.
"Di
atas langit masih ada langit." Maka manusia seyogianya, dengan kekuatan
yang dimilikinya, tetap rendah hati dan tidak menyalahgunakan. Perang,
penistaan, kezaliman, dan segala bentuk kesewenang-wenangan itu terjadi karena
kekuasaan manusia lepas dari kekuasaan ketuhanan.
Kedua, makna diwajibkannya ibadah shalat
bagi umat Muslim dalam peristiwa Isra' Mikraj. Ibadah shalat memiliki dua
dimensi pesan: yakni hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya (habluminannas).
Shalat dan
ibadah dalam Islam punya dimensi habluminannas, yakni memberikan hubungan yang
baik, damai, dan memberikan manfaat bagi kehidupan. Sehingga, semakin banyak
orang yang beribadah dengan baik, maka semakin baik pula kehidupan antarmanusia,
baik dalam hubungannya dengan lingkungan maupun alam semesta.
Dalam
posisi ini, jadikan Isra' Mikraj, dengan buah dari shalat, sebagai dasar untuk
membangun relasi kemanusiaan yang semakin baik, tetapi juga relasi ketuhanan
yang semakin dekat. Sehingga manusia semakin damai dengan langit, tetapi juga
semakin damai dengan bumi. Artinya, bangun kehidupan yang lebih baik, adil,
damai, tenteram, aman, makmur, serta hidup maju bersama, sehingga kehidupan
menjadi penuh makna.
Ketiga, dijalankannya dua risalah Nabi
setelah Isra' Mikraj. Dua risalah itu adalah risalah menyempurnakan akhlak,
beserta risalah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Dua risalah ini
mengandung makna bahwa Islam membangun peradaban sekaligus membangun keadaban.
Karena
itu, umat Muslim, tokoh agama, dan tokoh organisasi Islam senantiasa harus
mencontoh akhlak mulia Nabi dengan tutur tindakan yang berkeadaban, baik di
dunia nyata maupun di media sosial, sembari menebar rahmat bagi lingkungan di
mana mereka berada.
Jangan
melakukan kebijakan yang membawa mudarat, terlebih atas nama agama. Agama harus
difungsikan sebagai pencipta kebaikan dalam kehidupan.
Maka bagi tokoh dan organisasi keagamaan, bawalah Islam betul-betul menjadi rahmat bagi semesta alam—bukan hanya dalam retorika dan ujaran, tetapi dalam tindakan dan keteladanan. Kita, umat beragama, para tokoh agama, dan organisasi-organisasi keagamaan harus bisa menunjukkan, sebagaimana Nabi Muhammad dengan uswah hasanah, bahwa pilihan tentang kebenaran, tentang kebaikan, dan tentang kepatutan hidup itu harus menjadi pancaran dari keberagamaan kita.
Sumber: Website Resmi Muhammadiyah
Comments