Tepat pada 3 Maret 1924, dunia Islam mengalami peristiwa besar yang mengubah arah sejarah: runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, institusi pemerintahan Islam terakhir yang selama berabad-abad menjadi simbol persatuan dan kepemimpinan umat Islam. Pada tahun 2022 ini, saat kita memperingati 98 tahun peristiwa tersebut, penting bagi kita untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga merefleksikan makna dan dampaknya dalam kehidupan umat Islam hari ini, khususnya di Indonesia.
Khilafah Utsmaniyah: Simbol Persatuan Dunia Islam
Khilafah Utsmaniyah bukan sekadar pemerintahan, melainkan lambang izzah (kemuliaan) kaum muslimin, penjaga agama, dan pelindung umat. Ia menaungi berbagai bangsa dan suku, dari Balkan hingga Hijaz, dari Afrika hingga Asia. Di tengah keberagaman itu, panji Islam menyatukan mereka dalam satu visi: umat yang kuat di bawah bimbingan wahyu.
Walaupun wilayah Nusantara jauh dari pusat Khilafah, umat Islam di Indonesia memiliki hubungan historis dan emosional yang erat dengan kekhalifahan ini. Kesultanan Aceh, Demak, Mataram Islam, Ternate, dan lainnya pernah menjalin komunikasi, bahkan aliansi spiritual dan strategis dengan Istanbul.
Sebagai contoh, Kesultanan Aceh Darussalam pernah mengirim utusan kepada Khalifah di Istanbul untuk meminta dukungan melawan Portugis. Utsmaniyah merespons dengan mengirim bantuan militer dan teknisi. Ini membuktikan bahwa walau berjauhan secara geografis, umat Islam memiliki semangat persaudaraan lintas batas negara.
Runtuhnya Khilafah dan Perpecahan Umat
Setelah Khilafah dibubarkan paksa oleh Mustafa Kemal Atatürk pada 1924, umat Islam terpecah menjadi banyak negara-bangsa yang berdiri di atas asas nasionalisme. Identitas keislaman mulai tergeser oleh sekat-sekat kebangsaan, dan umat kehilangan pusat kepemimpinan global yang menyatukan suara dan arah perjuangan.
Kini, di tahun 2022, ada puluhan negara mayoritas Muslim eksis sebagai negara bangsa, namun banyak di antaranya masih dilanda konflik internal, ketidakstabilan politik, dan ketimpangan sosial. Meskipun secara kuantitas umat Islam selalu berkembang, namun kualitas persatuan dan kekuatannya justru melemah.
Refleksi dan Harapan
Dalam menghadapi kondisi ini, penting bagi kita sebagai generasi Muslim untuk tidak hanya menangisi masa lalu, tapi mengambil pelajaran darinya. Persatuan yang hakiki tidak akan pernah lahir dari nasionalisme sempit yang hanya mementingkan kelompok atau bangsa sendiri. Persatuan sejati hanya bisa tumbuh di atas dasar yang kokoh: Islam.
Sebagaimana dahulu Khilafah mampu menyatukan beragam bangsa, bahasa, dan budaya karena mereka tunduk pada ajaran yang sama, syariat yang satu, dan tujuan yang mulia, maka begitu pula umat Islam hari ini: hanya panji Islam yang dapat menyatukan kembali kekuatan umat yang tercerai-berai.
Indonesia, sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, memegang peran strategis dalam kebangkitan itu. Sekolah-sekolah Islam, termasuk amal usaha Muhammadiyah, memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik generasi yang berpikir global, berspirit ukhuwah Islamiyah, dan memahami sejarah perjuangan umat.
Penutup
Kini, 98 tahun pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, khilafah Islam terakhir di muka bumi, kita menyadari bahwa kehormatan umat Islam tidak akan kembali jika umat ini terus terpecah, saling bersaing dan kehilangan arah. Hanya ketika kita kembali kepada Islam sebagai akidah, syariat, dan sistem kehidupan secara kaffah, barulah persatuan yang hakiki dapat diwujudkan untuk mengembalikan kejayaan umat.
Mari kita jadikan momentum 3 Maret ini sebagai ajang renungan, bahwa kekuatan umat Islam ada pada kesatuan mereka di bawah panji Islam, bukan semata-mata pada batas wilayah dan nama negara. Semoga dari Indonesia, lahir kembali generasi yang siap mengangkat izzah umat dan memperjuangkan peradaban Islam yang mencerahkan dunia. Wallahu a'lam
Tidak ada komentar: