
Ketika bicara tentang emansipasi perempuan di Indonesia, nama R.A.
Kartini sering kali seakan menjadi ikon tunggal. Ia dikenal melalui
surat-suratnya kepada teman-temannya di Belanda yang menyuarakan keresahan dan
harapan tentang perempuan, persamaan hak dengan laki-laki, termasuk di dalamnya
tentang pendidikan. Surat-surat yang kemudian dikumpulkan oleh Mr. J.H.
Abendanon dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1911 dengan judul Door
Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Namun, dalam lembar sejarah yang jarang disorot, berdiri tegak
sosok perempuan lain yang tak hanya memiliki wacana untuk perubahan, tetapi
benar-benar nyata dalam mewujudkannya. Dialah Siti Walidah, yang lebih dikenal
sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Sang Penggerak Perempuan
Lahir pada 3 Januari 1872 M di Kauman, Yogyakarta, Siti Walidah
tumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang religius. Ia adalah istri dari KH.
Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Namun, sebutan “istri
pendiri” terlalu kecil untuk menggambarkan kontribusinya dalam dunia
perjuangan. Nyai Walidah bukan sekadar pendamping semata, ia adalah penggerak,
pelopor, dan pemimpin para perempuan.
Pada 19 Mei 1917 M, ia menjadi salah satu tokoh sentral yang turut
mendirikan ‘Aisyiyah, organisasi perempuan di bawah Muhammadiyah yang menjadi
pelopor gerakan perempuan Muslim berkemajuan di Nusantara. Di masa ketika
perempuan bahkan belum bebas keluar rumah, Nyai Walidah Dahlan sudah berbicara
tentang pendidikan anak perempuan serta peran strategis dan kontribusi
perempuan dalam membangun bangsa.
Dan gerakan besar ini dikelola oleh para perempuan. Bahkan sebelum
Indonesia merdeka, ketika bangsa ini masih berada di bawah penjajahan Belanda,
sekelompok perempuan visioner, hasil didikan dari pemahaman Islam berkemajuan
KH. Ahmad Dahlan yang jauh melampaui zamannya, telah membentuk sebuah
organisasi khusus perempuan bernama ‘Aisyiyah.
Amal Usaha ‘Aisyiyah
R.A. Kartini menulis dan menyuarakan harapan. Sementara itu, Nyai
Walidah membangun, menggerakkan, dan menumbuhkan perubahan pada tataran nyata.
Salah satu tonggak pentingnya dimulai dengan merintis lembaga pendidikan anak
usia dini melalui pendirian Frobel School pada
tahun 1919 (dua tahun setelah ‘Aisyiyah berdiri), yang kini dikenal sebagai TK
‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA). Ia juga menggagas program pendidikan
keaksaraan bagi perempuan serta mendirikan musala khusus perempuan pada tahun
1922, sebuah langkah berani di masa itu.
Hari ini, dalam usianya yang telah mencapai 105 tahun menurut
kalender Miladiyah, warisan gerakan ‘Aisyiyah terus tumbuh dan berkembang,
menyebar luas ke seluruh pelosok tanah air.
Dalam bidang pendidikan, amal usahanya terdiri dari ribuan
PAUD/TK, SD, SMP, dan SMA, lembaga pendidikan nonformal, termasuk perguruan
tinggi. Di bidang kesehatan, ‘Aisyiyah mengelola dan mengembangkan amal usaha
kesehatan, yaitu puluhan rumah sakit dan klinik yang tersebar di seluruh
Indonesia. Di bidang sosial, ‘Aisyiyah mengembangkan berbagai amal usaha
seperti panti asuhan, panti difabel, daycare dan panti lansia, termasuk Rumah
Sakinah. Di bidang ekonomi, saat ini ‘Aisyiyah telah mengelola ratusan koperasi
serta mengembangkan ribuan Badan Usaha Ekonomi ‘Aisyiyah (BUEKA).
Inilah yang sesungguhnya dapat disebut sebagai sebuah gerakan,
aktivitas sosial, dan pemberdayaan masyarakat yang tidak berhenti pada wacana
atau diskusi semata, melainkan menjelma menjadi aksi nyata yang besar dan
berdampak luas. Dan luar biasanya, gerakan ini dikelola oleh para perempuan.
Bayangkan, lebih dari seratus tahun yang lalu, di masa ketika
belum ada teknologi maju seperti sekarang ini, gagasan besar ini telah tumbuh
subur di benak para perempuan pelopor ‘Aisyiyah. Mereka telah menyadari
pentingnya mendirikan lembaga pendidikan, mendidik anak-anak, mempersiapkan generasi
penerus, serta memberdayakan kaum perempuan, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia
diraih.
Mungkin tak banyak yang tahu jejak para perempuan hebat yang dulu
dipelopori oleh Nyai Walidah Dahlan ini. Tak banyak yang sadar bahwa kerja
besar ini berasal dari tangan-tangan perempuan yang telah bergerak sejak zaman
penjajahan, sebelum lahirnya republik ini. Semua pergerakan ini dipimpin dan
dipelopori oleh seorang perempuan yang tak pernah meminta diperingati hari
lahirnya.
Mengabadikan Nama Nyai Walidah Dahlan
Nyai Walidah Dahlan tidak menuntut kesetaraan lewat slogan. Ia
menunjukkannya melalui tindakan nyata. Baginya, emansipasi bukanlah kompetisi
antara laki-laki dan perempuan, melainkan kerja bersama untuk memajukan umat
dan bangsa. Ia mengajak perempuan untuk berilmu, mandiri, dan berdaya, tanpa
meninggalkan nilai-nilai ajaran Islam.
Di masa kini, ketika isu perempuan sering kali dijadikan komoditas
dan diperjualbelikan dalam ruang politik atau media, sosok Nyai Walidah memberi
teladan bahwa kerja nyata dan konsistensi lebih lantang daripada perayaan
tahunan yang minim makna.
Berkat jasanya dalam mengupayakan pendidikan dan memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan, pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinobatkan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto. Namun, pengakuan
ini belum cukup untuk menjadikannya dikenal setara dengan tokoh-tokoh lain
dalam buku sejarah sekolah.
Nyai Walidah Dahlan bukan sekadar menginspirasi dengan “Habis
Gelap Terbitlah Terang”, melainkan secara nyata menghadirkan “pelita” melalui
karya-karya nyata. Karya beliau tidak berupa kumpulan surat yang kemudian
dibukukan, melainkan terwujud dalam puluhan ribu warisan yang tersebar di
seluruh penjuru negeri.
Sudah saatnya kita mengangkat nama Nyai Walidah Dahlan, bukan
hanya sebagai pelengkap dari KH. Ahmad Dahlan, tetapi sebagai sosok emansipasi
sejati. Perempuan yang tidak hanya berpikir tentang masa depan bangsanya,
tetapi menanam benih dan menyiramnya dengan kerja keras agar generasi
setelahnya bisa tumbuh dalam pendidikan dan kemuliaan.
Emansipasi bukan hanya hak bicara, tetapi hak untuk berkarya nyata.
Dan Nyai Walidah telah membuktikan bahwa seorang perempuan bisa mengubah
sejarah, bukan hanya dengan slogan, tetapi dengan meninggalkan warisan nyata.
Comments