Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Buka Pendaftaran Siswa Baru TP 2023/2024





PPTQ SMP Imam Syuhodo Gelar Setoran Tahfihz 1 Juz Sekali Duduk


Sukoharjo – Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo menggelar Tasmi’ Juz’iyyah terbuka 1 juz sekali duduk untuk menguji kualitas hafalan Al-Qur’an para santri.

 

“Kegiatan berlangsung di kompleks PPTQM Imam Syuhodo, alhamdulillah dapat berjalan secara hikmat dan lancar,” ungkap kepala kepengasuhan Ustadz Muhammad Fikri Ath Thoriq.

 

Acara tersebut ditayangkan secara live streaming melalui channel youtube resmi Imam Syuhodo TV. Menurut Ustadz Fikri setoran tahfizh kali ini diikuti oleh seorang santriwati kelas 7 asal Sukoharjo bernama Faizah Fathin Zahratul Jannah binti Andyanto.

 

Alhamdulillah hari ini (Selasa, 25 Oktober 2022) santriwati Fathin telah berhasil dapat menyelesaikan setoran hafalan Al Qur’an 1 Juz (juz 29) sekali duduk dengan predikat jayyid jiddan,” tegasnya.

 

Ustadz Fikri berharap bahwa santri harus istiqamah untuk mengulang hafalannya sehingga semakin kuat kecintaan pada Al-Qur’an serta semakin semangat dalam mengamalkannya.

 

Ia juga menginformasikan bahwa Penerimaan Santri Baru PPTQM Imam Syuhodo Tahun Pelajaran 2023/2024 gelombang 1 sudah dibuka sejak tanggal 1 November hingga 17 Desember 2022.

 

“Bagi masyarakat yang ingin memasukkan putra putrinya menjadi santri di PPTQM Imam Syuhodo baik untuk program fullday maupun boarding bisa mendaftar dengan langsung menuju lokasi PPTQM Imam Syuhodo yang berada di Jalan H. Muslih Wonorejo, Polokarto, Sukohajo, Jawa Tengah 57555. Adapun terkait dengan informasi selengkapnya dapat segera menghubungi call center kami di wa.me/6281225667820 atau meluncur ke situs resmi kami di https://www.smpmu-imamsyuhodo.com,” pungkasnya.

Brosur Pendaftaran Santri Baru Pondok Pesantren Imam Syuhodo 2023-2024









Siswa SMP Imam Syuhodo Terima Sosialisasi Kesehatan Reproduksi dari Puskesmas


Sukoharjo - Kesehatan reproduksi merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dijaga, utamanya saat memasuki usia remaja. Karena usia remaja merupakan saat yang terbaik untuk menumbuhkan kebiasaan yang baik dalam menjaga kebersihan dan kesehatan diri, yang dapat menjadi aset berharga untuk masa depan.

 

Dalam rangka sosialisasi kepada masyarakat tentang urgensi pendidikan menjaga kesehatan reproduksi kepada masyarakat, khususnya untuk para remaja, Puskesmas Kecamatan Polokarto melaksanakan kunjungan ke SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo, pada Rabu (12/10/2022). Kegiatan ini diikuti oleh siswa siswi kelas 7 dan kelas 8 SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo.

 

Petugas Puskesmas Polokarto yang datang ke SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Ratna Sri Sugiyatmi Tri Astiti yang juga sekaligus sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut memberikan materi Sosialisasi Kesehatan Reproduksi Remaja.

 

“Masa-masa remaja sangat penting untuk menjaga kesehatan reproduksi, apalagi usia pelajar tingkat SMP yang sedang memasuki fase remaja menjelang dewasa,” ungkapnya.

 

Selain tentang kesehatan reproduksi remaja, petugas Puskesmas Polokarto juga menyampaikan kepada para siswa-siswi SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo pengetahuan tentang tanda-tanda pubertas, juga kesehatan dan keseimbangan gizi bagi remaja di usia SMP. Termasuk mengajak para remaja usia SMP agar menjaga diri dari anemia, di antaranya dengan mengkonsumi tablet FE, tablet mineral yang diperlukan oleh tubuh untuk pembentukan sel darah merah atau hemoglobin.

 


Menanggapi kegiatan sosialisasi Kesehatan Reproduksi Remaja dari Puskesmas Polokarto tersebut, penanggung jawab UKS SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Yunika Putri Pratiwi, S.Pd sangat berterima kasih dan mengapresiasi positif kegiatan tersebut. Dirinya juga mengingatkan kepada para siswa dan siswi di sekolahnya akan pentingnya menjaga kesehatan diri, khususnya kesehatan organ reproduksi.

 

“Jangan sampai kita terperangkap pergaulan bebas. Karena selain melanggar aturan sekolah dan ajaran agama, hal itu juga dapat menimbulkan PMS (penyakit menular seksual) yang dapat merusak alat reproduksi wanita dan fungsinya,” pesannya.

Menjadikan Masjid Sebagai Amal Usaha Muhammadiyah



Muhammad Nasri Dini

Sekretaris Takmir Masjid Islamic Center Muhammadiyah Blimbing, Sukoharjo

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

 

Rasulullah SAW memulai perkaderan dakwahnya salah satunya dengan membangun masjid. Adalah masjid Quba yang dibangun pertama kali oleh Rasulullah SAW di Madinah. Jika menilik pada perjalanan awal dakwah KH. Ahmad Dahlan, yang pertama beliau bangun saat itu sebelum mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah adalah juga masjid, atau dalam istilah beliau saat itu adalah langgar (surau). Demikianlah begitu pentingnya masjid untuk meletakkan pondasi dalam rangka membangun peradaban Islam, dalam rangka kaderisasi dakwah.

 

Karena pentingnya masjid tersebut lembaga pendidikan Islam klasik termasuk di Indonesia juga menjadikan masjid sebagai unsur sentral yang harus ada di dalamnya. Seperti halnya pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, sebagaimana dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier (2011) dalam bukunya yang sangat popular “Tradisi Pesantren” mengatakan bahwa di antara elemen dasar yang harus ada dalam tradisi pesantren adalah masjid. Di samping beberapa elemen lain yaitu pondok (asrama), santri, pengajaran kitab Islam klasik dan kiai.

 

Di Muhammadiyah sendiri sedekat pandangan penulis sempat ada pergeseran pandangan warga bahkan pimpinan Muhammadiyah dalam melihat pentingnya fungsi masjid ini. Para pengurus Muhammadiyah lebih fokus dan serius saat mengarap amal usaha lain yang dianggap produktif, seperti sekolah, universitas, rumah sakit, lembaga keuangan, dll. Berkebalikan dengan Muhammadiyah yang relative abai dengan masjid, kelompok Islam yang lain justru menyadari pentingnya masjid sebagai basis perkaderan generasi penerus mereka. Maka pada kisaran tahun 2000an awal hingga saat ini masih sering kita dengar adanya masjid yang awalnya dikelola oleh Muhammadiyah kemudian terpaksa harus bergeser kepengurusan dan kepemilikan. Kemudian pada akhirnya dikelola oleh orang lain, baik perlahan-lahan secara sukarela, terpaksa, bahkan ada yang memang direbut dengan kasar secara paksa.

 

Mereka, orang-orang, kelompok, atau bahkan organisasi yang merebut masjid yang jelas-jelas milik Muhammadiyah itu tentu salah, jelas salah, dan pasti salah. Bukan maksud penulis untuk memberikan pembelaan kepada mereka. Tapi tentu saja kesalahan tidak bisa semata-mata hanya dituduhkan kepada mereka. Bahkan kesalahan pertama tentu saja adalah berasal dari kita, para pengurus Muhammadiyah yang cenderung meremehkan urgensi masjid dan lebih memfokuskan diri pada amal usaha lain yang mungkin lebih menjanjikan secara hasil keduniaan.

 

Masjid Milik Allah

Mungkin ada di antara kita yang belum paham dan akan bertanya, seperti pertanyaan: benarkah ada masjid milik Muhammadiyah? Bukankah masjid itu milik umat/umum? Bukankah masjid itu milik Allah? Benar memang pada hakikatnya masjid adalah milik Allah SWT, sebagaimana bisa dikatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah milik Allah SWT. Tapi bukankah secara pengelolaan pasti ada pemilik resminya?

 

Di antara pengurus Muhammadiyah yang cukup keras sikapnya dalam masalah kepemilikan amal usaha masjid ini adalah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Karena tidak mau amal usaha Muhammadiyah diambil oleh orang lain, maka PWM Jatim merasa harus strength dalam kaitan ini. Ketua PWM Jawa Timur Dr. KH. M. Saad Ibrahim, M.A dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa salah jika ada yang punya dalil ‘masjid itu punya Allah, punya semuanya’. Beliau menganalogikan sama dengan misalnya hotel yang pada hakikatnya adalah milik Allah SWT, tapi bahwa bumi dan seisinya itu secara pengelolaan diserahkan kepada manusia. Kiai Saad menjelaskan bahwa ada kepemilikan yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia di muka bumi. Maka beliau menegaskan bahwa jika masjid itu memang secara formal milik Muhammadiyah jangan dikatakan sebagai milik Allah, karena memang pengelolaannya telah diserahkan pada Muhammadiyah. Kalau berkaitan dengan istilah ‘milik semuanya’ dalam arti semua bisa menggunakan menurut beliau silakan saja, kalau mau shalat di masjid Muhammadiyah, semuanya boleh.

 

Masjid Milik Muhammadiyah

Di sini akan kami paparkan secara singkat, dan mungkin sebatas pengetahuan yang kami miliki. Bagaimana sebenarnya sebuah masjid bisa dikatakan sebagai masjid Muhammadiyah.

Pertama, Masjid Muhammadiyah yang paling ideal adalah masjid yang tercakup unsur-unsur secara lengkap meliputi: sertifikat wakaf atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dikelola oleh takmir/DKM pengurus Muhammadiyah setempat, berada di tengah lingkungan warga mayoritas Muhammadiyah, amalan ibadah dan kegiatannya pun semuanya sesuai pemahaman Tarjih Muhammadiyah. Ini yang paling sempurna. Karenanya jika ada yang bertanya maka akan dijawab dengan tegas bahwa masjid tersebut adalah masjid Muhammadiyah.

 

Kedua, ada masjid yang sertifikatnya belum atas nama Muhammadiyah, biasanya masih berdiri di atas tanah inventaris pemerintah. Tapi pengurus, jamaah dan amalannya semua sudah Muhammadiyah. Jika warga Muhammadiyah di tempat tersebut komitmen dalam melakukan perkaderan, maka relative aman. Tapi jika mereka abai, maka sedikit demi sedikit pasti akan mengalami pergeseran juga.

 

Ketiga, masjid yang wakafnya sebenarnya sudah diserahkan pada Muhammadiyah, tapi oleh pengurusnya belum diurus sertifikat atas nama Muhammadiyah. Takmir, jamaah dan amalan sudah Muhammadiyah. Ini harus segera diselesaikan, karena jika orang yang mewakafkan telah meninggal, maka bisa timbul masalah, bahkan bisa saja terjadi wakaf tersebut diminta kembali oleh ahli warisnya.

 

Keempat, masjid dengan wakaf kepada Muhammadiyah, pengurusnya sebagian besar Muhammadiyah, tapi ada pula unsur non Muhammadiyah karena berada di lingkungan yang majemuk. Pada beberapa kasus masjid dengan model ini yang pada akhirnya bisa diambil alih oleh orang atau kelompok lain.

 

Kalau diklasifikasi pada daerah, cabang, dan ranting Muhammadiyah secara nasional, mungkin akan didapati kriteria selain yang sudah disebutkan di atas. Tapi jika diidentifikasikan, setidaknya ada beberapa hal urgen agar masjid yang awalnya milik Muhammadiyah selamanya tetap menjadi masjid milik Muhammadiyah.

 

Pertama, kepemilikan formal. Artinya secara hitam di atas putih, sertifikat masjid Muhammadiyah harus benar-benar atas nama Persyarikatan Muhammadiyah. Jika perlu, di depan masjid Muhammadiyah dipasang plang atau papan nama dengan tulisan “Masjid Milik Muhammadiyah” atau yang semacam itu. Dilengkapi pula dengan mencantumkan nomor sertifikat di bawahnya. Kemudian di serambi masjid Muhammadiyah tersebut juga dipasang pigura sertifikat masjid yang tertulis di dalamnya bahwa wakaf tersebut untuk Persyarikatan Muhammadiyah. Jika perlu juga terdapat prasasti peresmian masjid yang ditandatangani oleh tokoh Muhammadiyah. Kami sempat melihat masjid-masjid yang dikelola oleh saudara-saudara kita dari NU, banyak yang di serambi masjidnya tertulis dengan jelas “Masjid ini Berorganisasi NU”. Hal baik ini bisa untuk dicontoh oleh juga oleh pengurus takmir masjid Muhammadiyah.

 

Kedua, perkaderan. Karena sertifikat adalah buatan manusia, maka tetap ada kemungkinan jika suatu saat terjadi konflik, tidak menutup kemungkinan akan dimenangkan oleh orang yang punya kekuasaan atau koneksi. Artinya, bisa saja masjid yang secara sertifikat awalnya milik Muhammadiyah tersebut pada akhirnya berpindah kepemilikan menjadi milik kelompok lain. Maka perkaderan menjadi unsur penting yang mutlak dan tidak bisa tidak untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya mengkader pengurus takmir atau pengurus Muhammadiyah saja, tapi juga hingga pada tahap mengkader jamaah. Dan yang tidak kalah penting adalah mengkader ahli agama, entah disebut sebagai kiai, ustadz atau yang semacamnya yang akan ‘menguasai’ mimbar masjid tersebut. Karena tidak sedikit masjid Muhammadiyah berpindah kepemilikan diawali dari mimbar masjid yang diserahkan kepada orang lain, karena pengurus masjid tidak memiliki kader Muhammadiyah yang mumpuni dan kompeten untuk berbicara di mimbar.

 

Ketiga, pengelolaan. Masjid Muhammadiyah seringkali langsung di bawah cabang (PCM) atau ranting (PRM), ada juga sebagian kecil yang dikelola oleh PDM. Secara ekskutif kegiatan-kegiatan di dalamnya dikelola oleh takmir/DKM. Pimpinan Muhammadiyah perlu memberikan pembekalan kepada para pengelola masjid berkaitan dengan pengelolaan masjid yang ideal. Bahkan secara tanggung jawab, mungkin masjid Muhammadiyah bisa diserahkan pengelolaannya kepada salah satu majelis di persyarikatan. Jika amal usaha sekolah/madrasah dikelola oleh Majelis Dikdasmen, amal usaha rumah sakit dikelola oleh Majelis PKU, dan sebagainya. Rasa-rasanya amal usaha masjid paling tepat jika diserahkan tanggung jawabnya pada Majelis Tabligh. Agar masjid-masjid itu tidak berjalan sendiri-sendiri, tapi ada koordinasi dari persyarikatan. Maka kemudian masjid ini bisa dikatakan sebagai Amal Usaha Muhammadiyah di bawah Majelis Tabligh.

 

Keempat, jaringan. Dalam hal jaringan takmir masjid ini, kita mungkin mengenal adanya DMI (Dewan Masjid Indonesia), Nahdlatul ‘Ulama punya LTMNU (Lembaga Takmir Masjid Nadlatul ‘Ulama), teman-teman salafi punya IMAS (Ikatan Masjid Ahlus Sunnah). Sebenarnya di Muhammadiyah penulis pernah mendengar ada dibentuk BKMM (Badan Koordinasi Masjid Muhammadiyah) yang diketuai oleh buya H. Risman Muchtar, S.Sos, M.Si. Tapi di tingkat bawah penulis belum pernah melihat pembentukan apalagi pergerakan organisasi serupa, baik di tingkat daerah, cabang, apalagi ranting. Padahal jaringan masjid ini sangat penting keberadaannya. Agar satu masjid Muhammadiyah bisa saling sharing dengan masjid Muhammadiyah yang lain berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang mungkin dimiliki dan tidak bisa diselesaikan sendiri.

 

Kelima, kegiatan. Orang lain atau kelompok lain mengadakan kegiatan di masjid Muhammadiyah yang tidak sesuai dengan amalan Muhammadiyah, bisa jadi karena memang minim diadakan kegiatan di masjid tersebut. Maka masjid Muhammadiyah harus kaya akan kegiatan, agar orang lain atau kelompok lain tidak punya kesempatan untuk menginfiltrasi ajaran mereka ke masjid Muhamamdiyah. Justru meraka yang terwarnai dengan warna Muhammadiyab karena mau tidak mau terpaksa mengikuti kegiatan di masjid Muhammadiyah tersebut.


*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh edisi Oktober 2022 M / Rabiul Awal 1444 H - No. 10 / XX

Muhammadiyah dan Warisan Suksesi Sejuk



Muhammad Nasri Dini, M.Pd

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

 

Setelah sempat tertunda beberapa tahun karena adanya pandemi, Muhammadiyah tampaknya benar-benar akan menggelar hajatan besar lima tahunan pada akhir tahun ini. Muktamar Muhammadiyah ke-48 sudah matang diagendakan dan akan dilaksanakan pada 18-20 November 2022 di Surakarta atau Solo Jawa Tengah. Salah satu agenda Muktamar tentu saja adalah suksesi atau pemilihan pimpinan pusat periode yang akan datang. Sependek pengetahuan penulis, anggota muktamar Muhammadiyah memang tidak pernah memilih ketua secara langsung, tetapi mereka memilih anggota pimpinan yang disebut sebagai formatur. Nantinya formatur ini yang kemudian akan menentukan siapa ketua umum dan menyusun kepengurusan PP Muhammadiyah yang akan datang.

 

Pemilihan dengan sistem formatur ini tidak hanya berlaku pada musyawarah di tingkat pusat saja, tetapi juga berlaku pada musyawarah di tingkat di bawahnya, dari pimpinan wilayah bahkan hingga pimpinan ranting. Kultur yang sudah berjalan selama ini, peraih suara terbanyak dalam pemilihan formatur tidak lantas otomatis ditetapkan menjadi ketua. Bahkan tidak menutup kemungkinan ketua dipilih bukan dari anggota formatur terpilih.

 

Kalau di pemilihan-pemilihan di luar Muhammadiyah, entah di partai politik atau ormas yang lainnya, tentu sudah jamak kita jumpai adanya cara-cara tidak sehat dalam pemilihan pimpinan. Dari saling tekan antar pendukung calon tertentu hingga cara kotor politik uang atau membeli suara agar dapat terpilih sebagai pucuk pimpinan. Semua berebut agar bisa menjadi orang tertinggi di organisasinya. Tapi di Muhammadiyah, setidaknya dari kisah-kisah yang akan disampaikan selanjutnya nanti akan kita dapati sebaliknya, para calon pimpinan Muhammadiyah tidak pernah berebut saling sikut dan saling injak untuk dapat menjadi ketua umum di Persyarikatan. Tidak jarang pula yang justru menolak menduduki kursi ketua umum.

Penulis sempat beberapa kali terlibat langsung dalam pemilihan pimpinan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, mulai di tingkat bawah, dari ranting, cabang dan daerah. Beberapa akan kami sampaikan dalam tulisan sederhana ini.

 

Saat itu kami pernah menjadi salah satu peserta musyawarah cabang (muscab) Muhammadiyah. Ketua Umum Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) sebelumnya juga masuk sebagai calon formatur. Maka mayoritas dari anggota Muscab pun memilih beliau kembali dan dalam rekap suara beliau memperoleh suara terbanyak. Tapi saat pengumunan formatur, beliau menyatakan tidak bersedia dipilih lagi sebagai anggota formatur. Usut punya usut di sini ternyata juga ada sedikit ketidakcermatan dari panitia pemilihan. Ternyata saat mengisi surat pernyataan yang disodorkan oleh panlih, beliau mengisi pernyataan tidak bersedia untuk dicalonkan kembali. Padahal beliau ini dikenal sebagai kiai kharismatik di cabang kami. Tapi lebih memilih untuk menolak jabatan sturuktural organisasi dan lebih memilih mengabdikan dirinya mengisi pengajian-pengajian warga Muhammadiyah. Maka setelah itu beliau benar-benar tidak masuk kembali sebagai pengurus PCM, tetapi masih tetap aktif di persyarikatan sebagai sesepuh, orang yang dituakan dan diharapkan nasihat-nasihatnya. Hingga sebelum akhir hayatnya, beliau masih rutin memberikan kajian pada jamaah Muhammadiyah dan Aisyiyah di tempat kami.  Semoga Allah merahmatinya, beliau adalah almarhum KH. Ahmad Sangidu, B.A.

 

Masing di tingkat cabang, kami juga pernah ditunjuk sebagai salah satu anggota panitia pemilihan (panlih) dalam salah satu kesempatan muscab. Singkatnya, saat itu yang terpilih dengan perolehan suara terbanyak dalam pemilihan formatur juga tidak bersedia untuk ditunjuk sebagai ketua. Alasan yang dikemukakan bahwa dirinya merasa masih terlalu muda (usianya saat itu baru 30an tahun), sedangkan formatur terpilih yang lain masih banyak yang lebih senior. Kami saat itu juga ada di dalam forum musyawarah formatur tersebut. Tidak kurang dari satu jam musyawarah formatur berdebat sengit dalam pemilihan ketua. Bukan saling berebut untuk memegang posisi ketua. Tapi semuanya dengan argumen masing-masing saling menghindar dari posisi ketua. Tapi pada akhirnya tetap harus ada yang mengemban amanah sebagai ketua, dan yang terpaksa menerima amanah sebagai ketua adalah salah satu senior yang duduk di posisi suara ke tiga formatur terpilih.

 

Barangkali ada yang berpikir, pantas saja menolak menjadi ketua PCM, wong di cabang Muhammadiyah bukan lahan ‘basah’. Dalam konteks di tempat kami hal ini seratus persen salah. Meskipun memang bukan PCM yang terbaik, tapi cabang kami merupakan salah satu cabang yang besar. Di sana ada pondok pesantren Muhammadiyah yang merupakan salah satu ponpes rujukan nasional, yaitu Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo yang memiliki tidak kurang dari seribu santri. Mantan direkturnya, yaitu KH. Yunus Muhammadiyah bahkan menjadi salah satu pelopor menyebarnya pesantren Muhammadiyah di Nusantara dengan kendaraan ITMAM (Ittihad Al Ma’ahid Al Muhammadiyah/Perhimpunan Pesantren Muhammadiyah se-Indonesia). Di bidang pendidikan, PCM Blimbing punya banyak sekali amal usaha (AUM), ada 12 MI/SD Muhammadiyah dan ada juga SMP, MTs, SMA, dan SMK Muhammadiyah. Selain itu ada pula PKU Muhammadiyah yang baru berkembang. Aisyiyahnya juga punya 23 TK/BA. Dari 17 desa se-kecamatan, PCM kami punya 31 ranting Muhammadiyah, 125 anggota korps Mubaligh Muhammadiyah dan 105 masjid binaan.

 

Di tingkat ranting kita juga pernah menjumpai hal yang serupa. Saat itu warga Muhammadiyah di ranting kami menggelar Musyawarah Ranting (musran). Setelah ketua ranting sebelumnya wafat, warga menghendaki adanya pimpinan ranting Muhammadiyah (PRM) dari kalangan yang dekat dengan anak muda yang tentu saja juga tidak diragukan perjuangannya untuk Islam dan persyarikatan. Maka saat itu warga ranting peserta musran, terutama para kalangan muda berhasil ‘memenangkan’ salah satu calon formatur. Tapi setelah menunggu rapat formatur beberapa saat, ternyata diumumkan bahwa ketua terpilih bukan dari calon dengan suara terbanyak, karena yang bersangkutan tidak bersedia ditunjuk sebagai ketua. Sempat saat itu ada sedikit kekecewaan yang lahir karena ketidakpahaman mereka, kenapa bukan peraih suara terbanyak yang menjadi ketua. Tetapi setelah dipahamkan akhirnya mereka pun menerima dengan lapang dada. Tidak ada PRM tandingan seperti halnya mungkin yang terjadi di organisasi politik.

 

Selain cabang dan ranting, kami juga pernah menjadi panitia pemilihan pada musyawarah daerah (musda) Muhammadiyah Sukoharjo. Saat itu musda diadakan di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), yang meskipun bernama Surakarta, tapi letaknya memang di wilayah kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Saat itu anggota musda semuanya mungkin merasa dag dig dug. Karena lebih dari satu jam musyawarah formatur belum juga selesai, padahal hari sudah menginjak sore. Sedangkan peserta musda sudah tidak ada agenda selain mendengarkan pengumuman hasil dari musyawarah formatur. Setelah ditunggu, mungkin saat itu tidak kurang dari dua jam, atau malah lebih, akhirnya panitia pemilihan mengumumkan. Dan lagi-lagi seperti sudah diduga, formatur dengan suara terbanyak, saat itu KH. Sholahudin Sirizar, Lc, M.A, tidak bersedia diamanahi sebagai ketua. Awalnya 10 anggota formatur yang lain juga tidak bersedia, maka waktu untuk musyawarah formatur pun juga menjadi sangat lama karena satu sama lain saling beradu argumen menyatakan tidak bersedia ditunjuk menjadi ketua. Pada akhirnya, yang terpaksa menerima amanah adalah KH. Wiwaha Aji Santosa, S.Pd, yang juga masih menjabat sebagai Ketua Umum Tapak Suci Wilayah Jawa Tengah.

 

Dalam sejarah pemilihan dalam Muktamar Muhammadiyah, juga pernah terjadi calon ketua pimpinan pusat yang sudah dipilih muktamirin enggan untuk menerima jabatan sebagai Ketua Umum. Peristiwa tersebut terjadi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 pada tahun 1953 yang diselenggarakan di Purwokerto. Ketika itu dari 9 nama formatur terpilih yang sudah dipilih oleh muktamirin melakukan musyawarah mufakat memilih Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1953-1956. Akan tetapi ke-9 nama formatur pimpinan pusat yang terpilih ketika itu tidak ada satu pun yang bersedia untuk menjadi ketua. Singkat cerita pada akhirnya para formatur tersebut pun berangkat ke Padang untuk membujuk Buya Sutan Mansur agar mau hijrah ke Jakarta atau Yogyakarta dan menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.

 

Pada akhirnya Buya Sutan Mansur pun bersedia menerima amanah menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Bahkan selanjutnya diketahui bahwa beliau menjabat dua periode sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, yaitu pada periode 1953-1956 dan pada periode 1956-1959. Dalam sejarah kepemimpinan Buya Sutan Mansur di Muhammadiyah, telah melahirkan Khittah Palembang, yang merupakan pokok pikiran arah garis perjuangan Muhammadiyah. Buya Sutan Mansur juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, setelah Pemilu 1955 digelar.

 

Muktamar (sebelumnya pernah disebut sebagai kongres) Muhammadiyah telah berlangusng tidak kurang dari 47 kali. Dan Muhammadiyah dalam muktamarnya selama ini selalu bisa menjadi teladan bagi organisasi yang lain. Muhammadiyah menganggap muktamar adalah momentum yang sangat tepat untuk memberikan keteladan salah satunya dalam hal suksesi atau pemilihan pimpinan, tidak hanya bagi ormas Islam lain tapi juga untuk organisasi masyarakat maupun organisasi politik lainnya. Selama ini Muktamar yang diselenggarakan Muhammadiyah selalu berlangsung dengan tertib, lancar, dan penuh kesejukan. Dalam setiap rangkaian acaranya, Muktamar Muhammadiyah selalu menjunjung tinggi kesabaran, ketawadhuan dan penuh khidmat. Terlebih Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan lembaga amal usaha terbanyak, tidak hanya di Nusantara saja, tapi juga di dunia Internasional.

 

Muktamar Muhammadiyah dari waktu ke waktu sudah berjalan dengan penuh kesejukan, tidak ada intrik yang terjadi di sana. Ini yang dipuji dari orang-orang luar dari Muhammadiyah selama ini. Karena beberapa waktu lalu ternyata pernah ada pula berita yang kita baca bahwa ormas keagamaan pun ada yang musyawarah tertingginya berjalan ricuh dan terjadi saling tekan. Semoga Allah SWT masih tetap menjaga persyarikatan kita ini sehingga para pimpinan daerah dan wilayah yang menjadi delegasi Muktamar nanti tetap bisa menjaga tradisi kesejukan dan keteduhan dalam muktamar. Sehingga Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar tetap bisa menjadi ormas Islam yang menghasilkan lebih banyak kontribusi bagi bangsa, memajukan Indonesia, mencerahkan semesta. Wallahul musta’an.


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No.9 / XX Shafar 1444 H / September 2022 M

SMP Imam Syuhodo Ajak Siswa Belajar Tentang Tanaman Obat dan Obat Tradisional ke B2P2TO Tawangmangu

 

Karanganyar - Pembelajaran dengan metode yang aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan sangat penting dilakukan di lembaga pendidikan dalam era saat ini. Metode outing class adalah salah satu di antara metode pembelajaran yang melibatkan siswa, guru dan lingkungan sekitar. Dengan metode ini pembelajaran yang dilaksanakan dapat mendekatkan siswa dengan lingkungan, jug dapat mempermudah pemahaman materi karena dilakukan dengan melihat realita sesungguhnya.

 

Berkaitan dengan hal tersebut SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo melaksanakan kegiatan outing class pada Rabu (5/10/2022). Kegiatan yang diikuti seluruh siswa dan siswi dari kelas 7, 8 dan 9 tersebut dilaksanakan dengan mengunjungi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO) Tawangmangu, Karanganyar. Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan peserta didik tentang tanaman obat.

 

Dalam kegiatan di B2P2TO siswa diajak berkeliling mengamati macam-macam tanaman obat, produksi obat tradisional, hingga pengemasan. Dengan mengikuti kegiatan ini siswa siswi SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo dapat mengerti dan memahami proses pembuatan obat-obatan dari awal hingga akhir.

 

Tidak hanya berkegiatan di B2P2TO Tawangmangu, untuk merefresh suasana siswa siswi setelah penat mengikuti penilaian tengah semester, mereka juga diajak mampir ke Grojogan Sewu, Tawangmangu. Kegiatan ini diharapkan selain dapat bermanfaat untuk menambah ilmu dan wawasan yang berguna untuk masa depan, juga dapat menjadi rekreasi bagi para siswa siswi.