Muhammad Nasri Dini
Sekretaris Takmir Masjid Islamic Center
Muhammadiyah Blimbing, Sukoharjo
Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
Rasulullah SAW memulai perkaderan dakwahnya salah satunya dengan
membangun masjid. Adalah masjid Quba yang dibangun pertama kali oleh Rasulullah
SAW di Madinah. Jika menilik pada perjalanan awal dakwah KH. Ahmad Dahlan, yang
pertama beliau bangun saat itu sebelum mendirikan organisasi bernama
Muhammadiyah adalah juga masjid, atau dalam istilah beliau saat itu adalah
langgar (surau). Demikianlah begitu pentingnya masjid untuk meletakkan pondasi
dalam rangka membangun peradaban Islam, dalam rangka kaderisasi dakwah.
Karena pentingnya masjid tersebut lembaga pendidikan Islam klasik
termasuk di Indonesia juga menjadikan masjid sebagai unsur sentral yang harus
ada di dalamnya. Seperti halnya pesantren yang merupakan lembaga pendidikan
Islam tertua di Nusantara, sebagaimana dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier (2011)
dalam bukunya yang sangat popular “Tradisi Pesantren” mengatakan bahwa di
antara elemen dasar yang harus ada dalam tradisi pesantren adalah masjid. Di
samping beberapa elemen lain yaitu pondok (asrama), santri, pengajaran kitab
Islam klasik dan kiai.
Di Muhammadiyah sendiri sedekat pandangan penulis sempat ada
pergeseran pandangan warga bahkan pimpinan Muhammadiyah dalam melihat
pentingnya fungsi masjid ini. Para pengurus Muhammadiyah lebih fokus dan serius
saat mengarap amal usaha lain yang dianggap produktif, seperti sekolah,
universitas, rumah sakit, lembaga keuangan, dll. Berkebalikan dengan
Muhammadiyah yang relative abai dengan masjid, kelompok Islam yang lain justru
menyadari pentingnya masjid sebagai basis perkaderan generasi penerus mereka. Maka
pada kisaran tahun 2000an awal hingga saat ini masih sering kita dengar adanya
masjid yang awalnya dikelola oleh Muhammadiyah kemudian terpaksa harus bergeser
kepengurusan dan kepemilikan. Kemudian pada akhirnya dikelola oleh orang lain,
baik perlahan-lahan secara sukarela, terpaksa, bahkan ada yang memang direbut dengan
kasar secara paksa.
Mereka, orang-orang, kelompok, atau bahkan organisasi yang merebut
masjid yang jelas-jelas milik Muhammadiyah itu tentu salah, jelas salah, dan
pasti salah. Bukan maksud penulis untuk memberikan pembelaan kepada mereka.
Tapi tentu saja kesalahan tidak bisa semata-mata hanya dituduhkan kepada
mereka. Bahkan kesalahan pertama tentu saja adalah berasal dari kita, para pengurus
Muhammadiyah yang cenderung meremehkan urgensi masjid dan lebih memfokuskan
diri pada amal usaha lain yang mungkin lebih menjanjikan secara hasil
keduniaan.
Masjid Milik Allah
Mungkin ada di antara kita yang belum paham dan akan bertanya,
seperti pertanyaan: benarkah ada masjid milik Muhammadiyah? Bukankah masjid itu
milik umat/umum? Bukankah masjid itu milik Allah? Benar memang pada hakikatnya
masjid adalah milik Allah SWT, sebagaimana bisa dikatakan bahwa segala sesuatu
di dunia ini adalah milik Allah SWT. Tapi bukankah secara pengelolaan pasti ada
pemilik resminya?
Di antara pengurus Muhammadiyah yang cukup keras sikapnya dalam masalah
kepemilikan amal usaha masjid ini adalah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM)
Jawa Timur. Karena tidak mau amal usaha Muhammadiyah diambil oleh orang lain,
maka PWM Jatim merasa harus strength dalam kaitan ini. Ketua
PWM Jawa Timur Dr. KH. M. Saad Ibrahim, M.A dalam sebuah kesempatan mengatakan
bahwa salah jika ada yang punya dalil ‘masjid itu punya Allah, punya semuanya’.
Beliau menganalogikan sama dengan misalnya hotel yang pada hakikatnya adalah
milik Allah SWT, tapi bahwa bumi dan seisinya itu secara pengelolaan diserahkan
kepada manusia. Kiai Saad menjelaskan bahwa ada kepemilikan yang diberikan oleh
Allah SWT kepada manusia di muka bumi. Maka beliau menegaskan bahwa jika masjid
itu memang secara formal milik Muhammadiyah jangan dikatakan sebagai milik
Allah, karena memang pengelolaannya telah diserahkan pada Muhammadiyah. Kalau
berkaitan dengan istilah ‘milik semuanya’ dalam arti semua bisa menggunakan
menurut beliau silakan saja, kalau mau shalat di masjid Muhammadiyah, semuanya
boleh.
Masjid Milik Muhammadiyah
Di sini akan kami paparkan secara singkat, dan mungkin sebatas
pengetahuan yang kami miliki. Bagaimana sebenarnya sebuah masjid bisa dikatakan
sebagai masjid Muhammadiyah.
Pertama, Masjid
Muhammadiyah yang paling ideal adalah masjid yang tercakup unsur-unsur secara
lengkap meliputi: sertifikat wakaf atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
dikelola oleh takmir/DKM pengurus Muhammadiyah setempat, berada di tengah
lingkungan warga mayoritas Muhammadiyah, amalan ibadah dan kegiatannya pun
semuanya sesuai pemahaman Tarjih Muhammadiyah. Ini yang paling sempurna. Karenanya
jika ada yang bertanya maka akan dijawab dengan tegas bahwa masjid tersebut
adalah masjid Muhammadiyah.
Kedua, ada
masjid yang sertifikatnya belum atas nama Muhammadiyah, biasanya masih berdiri
di atas tanah inventaris pemerintah. Tapi pengurus, jamaah dan amalannya semua
sudah Muhammadiyah. Jika warga Muhammadiyah di tempat tersebut komitmen dalam
melakukan perkaderan, maka relative aman. Tapi jika mereka abai, maka sedikit
demi sedikit pasti akan mengalami pergeseran juga.
Ketiga, masjid
yang wakafnya sebenarnya sudah diserahkan pada Muhammadiyah, tapi oleh
pengurusnya belum diurus sertifikat atas nama Muhammadiyah. Takmir, jamaah dan
amalan sudah Muhammadiyah. Ini harus segera diselesaikan, karena jika orang
yang mewakafkan telah meninggal, maka bisa timbul masalah, bahkan bisa saja
terjadi wakaf tersebut diminta kembali oleh ahli warisnya.
Keempat, masjid
dengan wakaf kepada Muhammadiyah, pengurusnya sebagian besar Muhammadiyah, tapi
ada pula unsur non Muhammadiyah karena berada di lingkungan yang majemuk. Pada
beberapa kasus masjid dengan model ini yang pada akhirnya bisa diambil alih
oleh orang atau kelompok lain.
Kalau diklasifikasi pada daerah, cabang, dan ranting Muhammadiyah
secara nasional, mungkin akan didapati kriteria selain yang sudah disebutkan di
atas. Tapi jika diidentifikasikan, setidaknya ada beberapa hal urgen agar
masjid yang awalnya milik Muhammadiyah selamanya tetap menjadi masjid milik Muhammadiyah.
Pertama, kepemilikan
formal. Artinya secara hitam di atas putih, sertifikat masjid Muhammadiyah
harus benar-benar atas nama Persyarikatan Muhammadiyah. Jika perlu, di depan
masjid Muhammadiyah dipasang plang atau papan nama dengan tulisan “Masjid Milik
Muhammadiyah” atau yang semacam itu. Dilengkapi pula dengan mencantumkan nomor
sertifikat di bawahnya. Kemudian di serambi masjid Muhammadiyah tersebut juga
dipasang pigura sertifikat masjid yang tertulis di dalamnya bahwa wakaf tersebut
untuk Persyarikatan Muhammadiyah. Jika perlu juga terdapat prasasti peresmian masjid
yang ditandatangani oleh tokoh Muhammadiyah. Kami sempat melihat masjid-masjid
yang dikelola oleh saudara-saudara kita dari NU, banyak yang di serambi
masjidnya tertulis dengan jelas “Masjid ini Berorganisasi NU”. Hal baik ini
bisa untuk dicontoh oleh juga oleh pengurus takmir masjid Muhammadiyah.
Kedua, perkaderan.
Karena sertifikat adalah buatan manusia, maka tetap ada kemungkinan jika suatu
saat terjadi konflik, tidak menutup kemungkinan akan dimenangkan oleh orang
yang punya kekuasaan atau koneksi. Artinya, bisa saja masjid yang secara
sertifikat awalnya milik Muhammadiyah tersebut pada akhirnya berpindah
kepemilikan menjadi milik kelompok lain. Maka perkaderan menjadi unsur penting
yang mutlak dan tidak bisa tidak untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Tidak hanya mengkader pengurus takmir atau pengurus Muhammadiyah saja, tapi
juga hingga pada tahap mengkader jamaah. Dan yang tidak kalah penting adalah
mengkader ahli agama, entah disebut sebagai kiai, ustadz atau yang semacamnya yang
akan ‘menguasai’ mimbar masjid tersebut. Karena tidak sedikit masjid Muhammadiyah
berpindah kepemilikan diawali dari mimbar masjid yang diserahkan kepada orang
lain, karena pengurus masjid tidak memiliki kader Muhammadiyah yang mumpuni dan
kompeten untuk berbicara di mimbar.
Ketiga,
pengelolaan. Masjid Muhammadiyah seringkali langsung di bawah cabang (PCM) atau
ranting (PRM), ada juga sebagian kecil yang dikelola oleh PDM. Secara ekskutif
kegiatan-kegiatan di dalamnya dikelola oleh takmir/DKM. Pimpinan Muhammadiyah
perlu memberikan pembekalan kepada para pengelola masjid berkaitan dengan
pengelolaan masjid yang ideal. Bahkan secara tanggung jawab, mungkin masjid
Muhammadiyah bisa diserahkan pengelolaannya kepada salah satu majelis di
persyarikatan. Jika amal usaha sekolah/madrasah dikelola oleh Majelis
Dikdasmen, amal usaha rumah sakit dikelola oleh Majelis PKU, dan sebagainya. Rasa-rasanya
amal usaha masjid paling tepat jika diserahkan tanggung jawabnya pada Majelis
Tabligh. Agar masjid-masjid itu tidak berjalan sendiri-sendiri, tapi ada
koordinasi dari persyarikatan. Maka kemudian masjid ini bisa dikatakan sebagai
Amal Usaha Muhammadiyah di bawah Majelis Tabligh.
Keempat, jaringan.
Dalam hal jaringan takmir masjid ini, kita mungkin mengenal adanya DMI (Dewan Masjid
Indonesia), Nahdlatul ‘Ulama punya LTMNU (Lembaga Takmir Masjid Nadlatul ‘Ulama),
teman-teman salafi punya IMAS (Ikatan Masjid Ahlus Sunnah). Sebenarnya di Muhammadiyah
penulis pernah mendengar ada dibentuk BKMM (Badan Koordinasi Masjid
Muhammadiyah) yang diketuai oleh buya H. Risman Muchtar, S.Sos, M.Si. Tapi di
tingkat bawah penulis belum pernah melihat pembentukan apalagi pergerakan organisasi
serupa, baik di tingkat daerah, cabang, apalagi ranting. Padahal jaringan
masjid ini sangat penting keberadaannya. Agar satu masjid Muhammadiyah bisa
saling sharing dengan masjid Muhammadiyah yang lain berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan yang mungkin dimiliki dan tidak bisa diselesaikan
sendiri.
Kelima,
kegiatan. Orang lain atau kelompok lain mengadakan kegiatan di masjid Muhammadiyah
yang tidak sesuai dengan amalan Muhammadiyah, bisa jadi karena memang minim diadakan
kegiatan di masjid tersebut. Maka masjid Muhammadiyah harus kaya akan kegiatan,
agar orang lain atau kelompok lain tidak punya kesempatan untuk menginfiltrasi
ajaran mereka ke masjid Muhamamdiyah. Justru meraka yang terwarnai dengan warna
Muhammadiyab karena mau tidak mau terpaksa mengikuti kegiatan di masjid Muhammadiyah
tersebut.
*) Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Tabligh edisi Oktober 2022 M / Rabiul Awal 1444 H - No. 10 / XX
Tidak ada komentar: