Muhammad Nasri Dini
Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
Sukoharjo
Dakwah
melalui jalur pendidikan merupakan salah satu spirit perjuangan Muhammadiyah
yang ditinggalkan oleh pendirinya. Pada sejarah persyarikatan tercatat dengan
jelas bahwa KH. Ahmad Dahlan terlebih dahulu mengawali formalisasi dakwahnya
melalui pendidikan dengan mendirikan lembaga pendidikan pada tahun 1911.
Selanjutnya KH. Ahmad Dahlan baru membidani kelahiran Muhammadiyah pada tahun
1912 sebagai sebuah organisasi dakwah. Tulisan sederhana ini hendak membedah
secara singkat Khittah Pendidikan Muhammadiyah yang diwariskan oleh KH. Ahmad
Dahlan yang bukan hanya menjadi landasan bagi pendidikan di zaman itu. Nilai-nilai
yang diusung masih relevan dalam pembangunan pendidikan di Indonesia saat ini.
Pertama,
Pendidikan Kader Berbasis Masjid. Seperti halnya
Rasulullah SAW dan para sahabat beliau yang mendirikan Masjid Nabawi sebagai
pusat pergerakan beliau di awal-awal beliau hijrah dari Makkah ke Madinah, KH.
Ahmad Dahlan juga mendirikan Langgar Kidul sebagai ‘markas dakwah’ beliau
sebelum memulai pergerakan bersama murid-murid beliau di Kauman Yogyakarta.
Karena tidak mungkin KH. Ahmad Dahlan menjadikan Masjid Agung yang sudah eksis
terlebih dahulu sebagai pusat pergerakan, mengingat adanya friksi antara beliau
sebagai representasi kaum muda modernis dengan para sesepuh konservatif
tradisionalis di Kauman saat itu.
Langgar
Kidul kemudian menjadi pusat kegiatan dakwah KH. Ahmad Dahlan yang paling awal.
Dengan mendirikan Langgar Kidul, KH. Ahmad Dahlan ingin menciptakan tempat bagi
masyarakat untuk belajar agama Islam dan memperdalam pemahaman tentang ajaran
yang beliau bawa sepulangnya haji dan menuntut ilmu dari Makkah. Langgar Kidul
tidak hanya menjadi tempat untuk ibadah ritual semata, tetapi juga menjadi
pusat diskusi, pengajaran, dan pembelajaran agama bagi KH. Ahmad Dahlan dan
murid-muridnya. Di sinilah KH. Ahmad Dahlan memulai pergerakan dengan membentuk
kader inti dakwah yang kemudian menjadi landasan bagi berdirinya Muhammadiyah.
Langgar Kidul juga menjadi simbol awal dari perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam
membangun masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai Islam Modernis. Dengan
mendirikan langgar ini, KH. Ahmad Dahlan telah menetapkan fondasi awal yang kuat
bagi perkembangan gerakan dakwah dan pendidikan Muhammadiyah di kemudian hari.
Kedua,
Pendidikan Tauhid. Alwi Shihab dalam buku “Membendung
Arus: Respons Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”
mengungkapkan bahwa misi awal pendirian Persyarikatan Muhammadiyah oleh KH.
Ahmad Dahlan adalah dalam rangka untuk membendung gencarnya arus Kristenisasi
yang ditopang oleh kebijakan kolonial pemerintah Belanda yang menjajah bumi
Nusantara pada saat itu.
KH.
Ahmad Dahlan prihatin dengan fakta yang terjadi saat itu dengan menjamurnya
sekolah-sekolah Belanda yang dikelola oleh kelompok Kristen dan kalangan
Freemason. Karena hal tersebut, maka KH. Ahmad Dahlan merespon dengan
mendirikan lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang kemudian berkembang menjadi
organisasi yang diberi nama Persyarikatan Muhammadiyah, sebuah organisasi yang
bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Di sini jelas terlihat bahwa
KH. Ahmad Dahlan tidak menginginkan tauhid masyarakat pribumi yang sebenarnya
juga masih bercampur dengan budaya Jawa saat itu, tercabut dari masyarakat
karena ada misi Kristenisasi (Gospel) dari penjajah Belanda.
Ketiga,
Modernis dan Islamis. Ada dua sistem pendidikan yang
berkembang di Indonesia pada masa KH. Ahmad Dahlan, yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan barat. Di antara karakteristik pendidikan model pesantren ini
adalah hanya mengkaji berbagai macam kitab yang mencakup masalah-masalah agama
saja dan tidak ada pelajaran umum yang diajarkan kepada para santri. Ijazah dan
rapor juga tidak dikenal di kalangan mereka. Salah satu problem mendasar
pendidikan model pertama ini, selain penolakan terhadap fasilitas modern
termasuk tidak adanya kurikulum, mereka hanya akan menerima segala hal yang
dianggap baik dan yang buruk hanya dari kyai-kyai mereka saja.
Sementara
itu, pendidikan ala barat hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di barat.
Pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda ini pun sudah menggunakan
segala hal yang disebut modern. Baik itu metode, fasilitas dan lain sebagainya
sudah modern. Ilmu yang diajarkan pun tidak ada yang diajarkan di pesantren.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah Belanda ini menerapkan sistem
sekuler yang meniadakan pelajaran agama dan nilai-nilai agama dalam setiap
pelajaran. Sehingga pada akhirnya melahirkan golongan baru yang disebut
golongan intelektual yang umumnya anti Islam. Bahkan alumni sekolah-sekolah ini
banyak yang akhirnya menjadi antek-antek penjajah Belanda.
Kondisi
inilah yang kemudian mendorong KH. Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang memadukan dua karakter dan dua model pendidikan di atas. Yang
mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian umat Islam
tidak hanya fasih berbicara tentang Islam tetapi juga berwawasan luas tentang
perkembangan modern.
Karena
semangat pendidikan Islam adalah semangat dakwah. Sehingga dalam setiap jenjang
pendidikan yang dirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tidak pernah lupa untuk dijiwai
nilai-nilai keagamaan (Islam) yang saat itu sangat tabu untuk diajarkan pada
sekolah umum. Sekolah pertama yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan bersama
murid-muridnya adalah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam. Pada perkembangannya
dikenal juga sekolah-sekolah Hollands Inlandse School (HIS) met
de Qur’an (SD Al-Qur’an), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) met de Qur’an (SMP Al-Qur’an), Qismul Arqa’, Suranatan
siang dan sebagainya sebagai usaha dakwah KH. Ahmad Dahlan melalui
bidang pendidikan. Dengan dijiwai semangat dakwah dan Islam, semua sekolah yang
didirikan KH. Ahmad Dahlan tersebut memadukan antara sekolah umum model Belanda
dan sekolah Islam model pesantren.
Keempat,
Pendidikan bagi Kesejahteraan Sosial. Sebagaimana kita ketahui
bahwa semangat perjuangan KH. Ahmad Dahlan salah satunya dijiwai dari Al-Qur’an
Surat Al-Ma’un. Maka pendidikan Muhammadiyah tidak hanya untuk kepentingan
pribadi, tetapi juga untuk kesejahteraan sosial. Individu yang terdidik di lembaga
pendidikan Muhammadiyah diharapkan dapat berkontribusi nyata dalam membangun
masyarakat yang lebih baik.
Sejarah
mencatat dengan tinta emas, bahwa salah satu langkah serius yang dikerjakan KH.
Ahmad Dahlan adalah dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak dari kalangan mustadh‘afin
di lingkungan Kauman Yogyakarta. Saat kita menonton kembali dalam film “Sang
Pencerah” yang pernah popular belasan tahun lalu kita tentu menyaksikan
saat KH. Ahmad Dahlan memerintahkan kepada murid-muridnya untuk mencari dan
mengajak anak-anak dari kalangan orang miskin untuk dididik di madrasah yang
akan beliau dirikan. Di madrasah tersebut, tidak hanya diajarkan pendidikan
agama Islam saja seperti halnya madrasah-madrasah yang sudah ada saat itu,
melainkan juga diajarkan dengan pendidikan umum yang tidak diberikan di
madrasah maupun pesantren.
Dengan
mendirikan madrasah ini tentunya KH. Ahmad Dahlan ingin agar para alumninya nanti dapat
menyebar dan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai penjuru negeri ini seperti
yang pernah beliau contohkan. Minimal, beliau pasti menginginkan agar
kesejahteraan sosial para alumninya meningkat, tidak seperti halnya orang
tuanya sebelumnya.
Kalau
kita renungkan, sepertinya muncul kesan bahwa apa yang telah dirintis dan
ditinggalkan KH. Ahmad Dahlan utamanya berupa lembaga pendidikan akhir-akhir
ini telah dikelola secara menyimpang dari Spirit Al-Ma’un yang beliau
wariskan. Kalau dulu lembaga pendidikan Muhammadiyah didirikan untuk membantu
kaum mustadh‘afin yang tidak bisa memasuki lembaga pendidikan yang
didirikan penjajah Belanda, maka saat ini beberapa (semoga hanya sebagian
kecil) lembaga pendidikan Muhammadiyah justru sulit bahkan mustahil untuk
dimasuki golongan menengah ke bawah dan cenderung terkesan seakan-akan terlihat
seperti menjadi “ladang bisnis” bagi elit-elit lembaga tersebut. Oleh karena
itu, menjadi tugas kader persyarikatan untuk hidup dan menghidupi Muhammadiyah
dengan berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas gerakan pendidikan
Muhammadiyah agar selalu berjalan di atas Spirit Al-Ma’un ini.
Penutup
Setelah
merenungkan kembali Khittah Pendidikan Muhammadiyah yang diwariskan oleh KH.
Ahmad Dahlan, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan salah satu fondasi
utama dalam perjuangan dakwah Muhammadiyah. Dengan menjadikan dakwah melalui
jalur pendidikan sebagai spirit utama, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi
yang signifikan dalam membangun masyarakat utama yang berbasis pada nilai-nilai
Islam. Melalui pendidikan kader berbasis masjid, pendidikan tauhid, pendidikan
yang menggabungkan nilai-nilai Islam dan modernitas, serta pendidikan untuk
kesejahteraan sosial, pendidikan Muhammadiyah terus mewariskan semangat
perjuangan yang berdampak positif bagi masyarakat Indonesia saat ini.
Meskipun
dalam perjalannnya tetap terdapat tantangan yang harus dihadapi, termasuk dalam
mempertahankan spirit pendidikan Muhammadiyah untuk melayani kaum mustadh‘afin
dan memperjuangkan kesejahteraan sosial. Penting bagi para kader Muhammadiyah yang
bergelut di dunia pendidikan untuk terus merefleksikan khittah pendidikan
Muhammadiyah dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi sarana untuk
pemberdayaan sosial dan spiritual bagi seluruh lapisan masyarakat. Gerakan
pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah proyek jangka panjang yang harus
dibaktikan oleh kader-kadernya dengan tulus ikhlas, tanpa mengejar kepentingan
lain apalagi mencari hidup di Muhammadiyah. Dengan demikian, warisan KH. Ahmad
Dahlan dalam bidang pendidikan akan terus menjadi sumber inspirasi dan pedoman
dalam membangun masa depan pendidikan yang lebih baik bagi bangsa dan negara. Wallahul
Musta’an.
*) Dimuat di Majalah Tabligh No. 5/XXII - Bulan Dzulqaidah 1445 H / Mei 2024 M
Tidak ada komentar: