Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Ibnu Taimiyah: Sang Pembaru Pencetus Neo-Sufisme


Tasawuf adalah salah satu diskursus yang paling banyak diperbincangkan dan senantiasa mengundang perdebatan pro dan kontra di tengah pemikir Islam dalam setiap putaran zaman. Pro dan kontra tersebut di samping disebabkan oleh karakter tasawuf yang sangat personal dan subyektif, juga karena tasawuf dianggap telah menggelincirkan umat Islam kepada sikap lembek dan fatalistik yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam. Bandingkan dengan fikih, yang walaupun sering menjadi sumber konflik juga terkadang mampu menjadi instrumen pemersatu dan ciri utama dari peradaban Islam (al-Jabiri, 1990: 97).

Selama ini berkembang sebuah kesalahpahaman dalam mempersepsikan sikap seorang mujaddid besar dalam sejarah Islam, Ibnu Taimiyah, terhadap diskursus Tasawuf. Ignaz Goldziher dan Lois Massignon, dua orang tokoh orientalis terkemuka misalnya, mencitrakan Ibnu Taimiyah sebagai seorang puritan yang paling besar ‘tongkatnya’ dalam menggebuk tasawuf. Kenyataan sesungguhnya tidaklah demikian. Dalam diri Ibnu Taimiyah sesungguhnya terdapat sebuah sikap kosmopolitan yang berhasil menggabungkan antara apresiasi terhadap dimensi spiritual tasawuf, terutama yang berdiri kokoh di atas doktrin al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah, dan sikap oposisi terhadap tasawuf yang memancar dari pemikiran filosofis yang spekulatif dan praktek-praktek yang eksesif.


Jejak Al-Ghazali dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah lahir pada periode kritis yaitu pada tahun 1263 M, lima tahun pasca kejatuhan Baghdad sebagai simbol kekhalifahan ke tangan tentara Mongol. Dalam situasi Islam dan umat Islam yang serba terpuruk Ibnu Taimiyah mengumandangkan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Kondisi yang penuh gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak awal tidak sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan penguasa Islam kala itu, menghantarkannya pada nasib buruk hingga dipenjara beberapa kali.

Di penjara itu pula, di kota Damaskus, pada tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H, Syeikh Islam sang pembaru dari Harran itu wafat. Kendati nasibnya tragisnya sebagai korban kesewenang-wenangan rezim ulama dan penguasa kala itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai sosok pembaru dan pelopor kebangkitan Islam yang sangat ternama dan cemerlang di dunia Islam (Nashir, 2010: 82-6).

Seperti dinyatakan oleh Fazlur Rahman, gagasan Ibnu Taimiyah di bidang tasawuf adalah penajaman kembali dan sampai batas tertentu juga kritik terhadap proyek sintesa sufisme dan ortodoksi yang telah dilakukan sebelumnya oleh para tokoh sebelum Ibn Taimiyah. Tujuan sufisme ortodoks sendiri adalah untuk ihya atsar as-salaf (reaktualisasi paham salafiyah) dengan mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan terdahulu (Siregar, 2002: 300). Puncak dari usaha untuk memperbarui tasawuf pada masa sebelum Ibnu Taimiyah ada pada diri al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dengan karya monumentalnya Ihya Ulumiddin. Dalam bukunya tersebut al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu yang tertinggi ialah ilmu tasawuf, suatu ilmu yang mendukung orientasi batini keagamaan (Madjid, 2009: 88).

Namun, proyek sintesa ortodoksi dengan sufisme yang tercermin dalam sufisme ortodoks al-Ghazali justru menyisakan bahaya besar bagi perkembangan sufisme di kemudian hari. Kegiatan kritis, sintesis dan pembaruan al-Ghazali, pada waktu yang sama, ternyata menjadi titik balik dalam sejarah spiritual Islam, dan memaksa aliran ide-ide di masyarakat ke arah divisi-divisi dan kombinasi-kombinasi baru (Rahman, 2003: 208). Bahaya besar yang lahir pasca sintesa tersebut adalah dua hal berikut; pertama, munculnya bermacam-macam tarikat.

Tasawuf yang sebelumnya hanyalah sebuah ajaran spiritual yang tersistematisir, pasca Ghazali justru berubah menjadi sebuah ikatan persaudaraan yang teroganisir, memiliki sistem dan silabus sendiri-sendiri. Agama populer (religion within religon) inilah yang memiliki andil sangat signifikan dalam proses kemorosotan serta degradasi umat Islam pasca al-Ghazali. Seperti diketahui bahwa al-Ghazali hidup pada masa era perang salib. Sebagai seorang ulama ia semestinya menggelorakan perlawanan untuk kaum Salib yang tengah menjadi bahaya di ufuk mata. Namun nyatanya al-Ghazali justru memilih jalur skeptis terhadap dunia aktivisme dan mengambil jalan uzlah serta mengajak umat Islam bertobat, sebab Perang Salib baginya adalah hukuman yang ditimpakan Allah kepada kaum muslimin sebab dosa-dosa mereka (Hilmi, 2005: 285).

Bahaya kedua yang menjadi ekses di luar skenario yang dirancang al-Ghazali adalah berkembangnya theosofi sufi (Rahman, 2003: 203). Ibnu Taimiyah sendiri menuduh bahwa genealogi thesofi sufi (tasawuf falsafi) bisa dilacak pada pemikiran al-Ghazali dalam karyanya Misykatul Anwar dan Kimiau Saadah. Pemikiran al-Ghazali tentang kasyf menjadi gerbang pembuka bagi munculnya pemikiran spekulatif di bidang tasawuf yang muncul di kemudian hari.

Namun demikian, para theosufis sendiri sesungguhnya enggan mengakui al-Ghazali sebagai sosok yang melempengkan jalan bagi proyek yang mereka usung. Dalam Magnum Opus-nya “al-Futuhat al-Makkiyah” Ibnu Arabi mengatakan bahwa al-Ghazali belum mencapai derajat “dekat dengan Allah”, karena ia masih berpandangan bahwa kenabian adalah pintu yang sudah tertutup sementara para theosofis mengimani bahwa wahyu belumlah selesai (Hilmi, 2005: 286).


Neo-Sufisme Ibnu Taimiyah

Neo sufisme adalah sufisme yang telah diperharui (reformed sufism) (Rahman, 2003: 285). Sumbangan positif yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dalam neo-sufismenya adalah penekanan motif moral tasawuf dan penerimaan sebagian tehnik dzikrmuraqabah dan konsentrasi spiritualnya. Namun obyek dan kandungan konsentrasi ini diidentikkan dengan doktrin ortodoks dan tujuannya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman kepada ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa.

Dalam neo-sufismenya, Ibnu Taimiyah memasukkan unsur purifikasi yang ia anggap dapat mendorong secara efektif rekonstruksi sosial masyarakat muslim. Ia juga menekankan corak aktivisme ketimbang pasifitas dalam menghadapi kehidupan. Doktrin asketisme (zuhud) yang eksesif dan uzlah yang kontraproduktif bagi perubahan tidak tersisa sama sekali dalam gagasan genial neo-sufisme Ibnu Taimiyah.

Dalam neo-sufismenya, Ibnu Taimiyah masih menggunakan terminologi-terminologi sufi seperti salik (penempuh jalan spiritual) dan kasyf (intuisi), namun dengan substansi yang telah ia reformasi. Mengenai yang disebut terakhir, Ibnu Taimiyah menerima kasyf para sufi, namun ia menolak klaim infallibilitasnya, yaitu bahwa pengalaman sufi tidaklah memiliki validitas yang tak tergoyahkan dan eksklusif, sehingga dalam kenyataannya validitas kandungannya harus diuji dengan rujukan kepada dunia luar

Kritik yang tajam juga diarahkan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf populer (tarikat). Baginya tarikat tak lain adalah pelembagaan sikap fatalistik (istislam) yang dibalut dengan simbol-simbol spiritual seperti tawakal, sabar dan tunduk. Watak ajaran Islam yang esensial adalah aktivisme, sehingga seluruh pemikiran yang menyerukan untuk mengisi dunia hanya dengan duduk berzikir, tenang dan tidak berani menghadapi gelombang kehidupan adalah tidak layak untuk disebut Islam.

Dalam menelisik akar sikap fatalistik pada kaum sufi ini, ia menemukan adanya doktrin al-jabariyah  sebagai pemain utama yang bertanggungjawab terhadap kemunduran Islam. Kaum sufi menurutnya telah salah paham dalam memaknai kehendak Tuhan, di mana mereka berkeyakinan bahwa setiap tindak tanduk kita di dunia adalah kreasi Tuhan. Teologi seperti itulah yang menyebabkan kaum sufi tidak berbuat apa-apa saat Perang Salib dan Perang Mongol tengah bergejolak di dunia Islam.

Ajaran-ajaran tarikat yang menekankan sikap pasrah terhadap syaikh dan menghilangkan kebebasan dari para murid juga menjadi sasaran kritik tersendiri bagi Ibnu Taimiyah. Ia banyak menyerang ritus-ritus sufi dan praktek-praktek pemujaan makam serta pengkultusan wali-wali mereka. Tentang para syaikh sebagai guru spiritual sendiri Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang sangat moderat. Ia mengakomodasi konsep mursyid atau syaikh dalam tasawuf dan memilih untuk mengkritik ekslusifitas kaum sufi karena mewajibkan berguru pada satu syaikh saja (Taimiyah, 2006: IX/512).

Kritik terkeras yang dilancarkan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf adalah pada tasawuf falsafi, khususnya konsep Wahdatul Wujud Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M) dan Ittihad al-Hallaj (w. 308 H/920 M). Wahdatul Wujud (doktrin monistik) menurut Ibnu Taimiyah adalah ancaman yang sangat fatal terhadap konsep syariah Islam. Konsep kesatuan transedensi agama-agama adalah ciri esensial dari wujud Ibnu Arabiy yang menghantam prinsip tauhid Islam (Hilmi, 2005, 351).

Theosofi sufi menurut Ibnu Taimiyah juga telah melakukan bid’ah yang tak termaafkan. Suhrawardi (w. 578 H/1182 M) yang dijuluki al-maqtul karena terbunuh di tiang gantungan, misalnya, mengatakan bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diperoleh siapapun (al-nubuwwah muktasabah) (al-Jabiri, 1990: 299). Para theosofis karena terpengaruh fikiran spekulatif filsafat neo-Platonis juga mengatakan bahwa derajat para wali lebih tinggi daripada derajar pada nabi.

Beberapa kalangan berusaha untuk tetap akomodatif dengan syatahat (pernyataan ekstatis para sufi) karena ia dibuat dalam keadaan ‘mabuk’ (al-majbur ma’dzur) (Ibnu Khaldun, 2006: 1080). Bagi kalangan ini pernyataan ekstatis tersebut hanya bisa dirasakan kebenarannya oleh kaum sufi sendiri dan memang tidak bisa didesiminasi ke sembarang orang. Namun karakter yang demikian itulah yang dihujani kritik oleh Ibnu Taimiyah yang beraliran empirik karena akan menutup pintu terjadinya penyelidikan ilmiah. Abid al-Jabiri (1990: 291) pemikir kontemporer kawakan juga mengkritik epistem seperti itu karena akan menabrak dan mendokstruksi prinsip ilmiah dalam ilmu pengetahuan (baca: burhani) dan prinsip pemaknaan makna terhadap teks-teks agama (baca: bayani). Wallahu A’lam.


Muhammad Rofiq Muzakkir, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta

Sumber: Website Suara Muhammadiyah

Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah: Meluruskan Kesalahpahaman


Muhammad Nasri Dini

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo


Pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” memiliki nilai yang sangat mendalam dalam gerakan dakwah dan perjuangan Muhammadiyah. Pernyataan ini menekankan pada komitmen para aktivis Muhammadiyah untuk menghidupkan dan memperjuangkan Persyarikatan ini tanpa pamrih atau ada kepentingan pribadi. Sejarah mencatat bahwa pesan ini lahir sebagai jawaban atas pertanyaan salah satu murid KH. Ahmad Dahlan tentang apakah jika menjadi pengurus Muhammadiyah akan mendapatkan upah/gaji. Setidaknya dialog ini bisa kita rekam dari salah satu adegan dalam film biografi KH. Ahmad Dahlan “Sang Pencerah” yang pernah popular beberapa tahun yang lalu. Dan jawabannya adalah tegas: tidak hanya tanpa upah/gaji, tetapi dalam perjuangan justru memerlukan pengorbanan harta.

Namun, perlu dipahami bahwa konteks pernyataan tersebut adalah untuk menggarisbawahi pentingnya militansi dalam dakwah dan perjuangan, bukan berarti Muhammadiyah mengabaikan kesejahteraan para pengelola amal usahanya yang menghasikan nilai finansial. Hal ini sangat relevan untuk diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan penyalahgunaan makna, khususnya terkait pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) ‘basah’ yang menghasilkan seperti sekolah, rumah sakit, dan lembaga lainnya. Karena beberapa kali penulis pernah mendapati orang yang mencela atau sekedar mengejek para pekerja di AUM dan menganggapnya telah melanggar pesan KH. Ahmad Dahlan tentang “jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Kalau boleh mengambil kesimpulan sendiri, menurut hemat kami pernyataan ini khusus ditujukan pertama kali kepada para pengurus Muhammadiyah. Bahwa tidak selayaknya mereka mengharapkan imbalan duniawi dalam keterlibatan mereka di Muhammadiyah. Justru sebaliknya, tidak hanya waktu dan tenaga yang nantinya akan dikorbankan, bahkan harta sekalipun harus dengan rela dikorbankan untuk menghidupi Muhammadiyah.

 

Koreksi atas Kesalahpahaman

Dalam implementasinya di lapangan, kalimat tersebut seringkali disalahgunakan atau disalahpahamkan. Misalnya yang pernah kami dengar dari guru Muhammadiyah, langsung dari yang bersangkutan. Bahwa saat guru tersebut, yang mengabdi pada sekolah Muhammadiyah yang besar dan mapan, dengan siswa yang banyak dan SPP yang relatif mahal, kemudian ‘memprotes’ gaji guru yang dirasa masih kecil, lalu dijawab oleh sang kepala sekolah dengan mengutip pernyataan KH. Ahmad Dahlan di atas. Hal ini sangatlah tidak tepat dan menyalahi konteks. AUM yang menjadi sumber pendapatan dan memiliki manajemen profesional, harus tetap bahkan wajib hukumnya memperhatikan kesejahteraan para pegawainya. Sebuah institusi yang berlandaskan nilai-nilai Islam harus mengutamakan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial dalam pengelolaannya.

Ini sejalan dengan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000. Pada Pedoman Kehidupan Dalam Mengelola Amal Usaha yang terdiri dari 13 poin tersebut pada poin yang ke-7 PHIWM telah menegaskan prinsip keseimbangan antara etos pengabdian dan kesejahteraan. Di sana disebutkan bahwa “Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usaha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.”

Artinya pengelola AUM berhak mendapatkan nafkah yang wajar sesuai dengan kemampuan institusi dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, yaitu nafkah yang diberikan disesuaikan dengan tupoksi atau tangung jawab masing-masing. Hal ini dapat menjadi pedoman untuk memastikan keberlangsungan lembaga tanpa mengabaikan hak-hak individu yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu, pengelolaan AUM tidak hanya berorientasi pada profesionalisme tetapi juga tetap menjaga nilai-nilai Islam yang mendasari Muhammadiyah. Keberimbangan antara hak dan kewajiban ini adalah ikhtiar untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan memotivasi setiap elemen lembaga untuk berkontribusi dengan lebih optimal.

Selain poin 7, pada PHIWM tentang Mengelola Amal Usaha pada poin 10 menambahkan bahwa, “Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.”

Mari kita garisbawahi di antara bagian penting dari poin 10 ini, yaitu, “Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak”. Dari sini dapat dengan jelas kita baca bahwa karyawan AUM juga berhak mendapatkan kesejahteraan yang layak, tanpa kehilangan rasa syukur dan tetap menghindari ketidakpuasan yang berlebihan. Maka konsekuensinya, para pengelola dan pimpinan AUM harus memastikan keseimbangan antara semangat perjuangan dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan demikian, etos kerja yang baik akan lebih mudah terbangun dan produktivitas akan semakin meningkat.

Prinsip ini memberikan jalan tengah yang adil antara idealisme dakwah dan kebutuhan hidup yang sifatnya praktis. Dalam konteks sekolah/AUM kecil yang masih merangkak, mungkin dengan siswa yang hanya sedikit dan itu pun tidak memungut biaya, maka semangat perjuangan tanpa orientasi pada gaji semata menjadi hal yang penting. Namun untuk AUM yang sudah besar dan mapan, tuntutan kesejahteraan pekerja adalah wujud dari tanggung jawab dan penghormatan atas jasa mereka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa nilai-nilai keadilan yang diusung Muhammadiyah dalam PHIWM benar-benar diwujudkan dalam praktiknya.

 

Contoh Nyata dalam Implementasi

KH. Syukriyanto bin AR Fachrudin pernah mengisahkan bahwa pada kisaran tahun 1921 M KH. Ahmad Dahlan pernah melelang seluruh barang di rumahnya untuk menggaji guru dan membiayai sekolah Muhammadiyah, menginspirasi warga Kauman yang kemudian membeli barang-barangnya namun mengembalikannya setelah dilelang. Uang hasil lelang sebesar lebih dari 4.000 gulden disumbangkan sepenuhnya ke kas Muhammadiyah, meski kebutuhan awal hanya 500 gulden. Tindakan ini mencerminkan semangat pengorbanan KH. Ahmad Dahlan dan kekompakan warga dalam mendukung perjuangan Muhammadiyah untuk pendidikan, sekaligus menjadi teladan bagi prinsip pengabdian tanpa pamrih.

Dengan melelang semua harta demi kepentingan Persyarikatan, KH. Ahmad Dahlan menunjukkan bahwa membesarkan Muhammadiyah adalah panggilan pengabdian, bukan sarana mencari keuntungan pribadi. Tindakan para warga yang membeli barang-barangnya dan mengembalikan hasil lelang untuk Muhammadiyah juga mencerminkan solidaritas terhadap nilai perjuangan ini. Prinsip ini menjadi fondasi etos kerja Muhammadiyah, bahwa kontribusi terhadap Persyarikatan harus didasari keikhlasan dan komitmen pada misi dakwah.

Pada kesempatan yang lain KH. AR Fachrudin juga pernah memberikan contoh nyata implementasi prinsip ini. Sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah, beliau tetap aktif mengelola bisnisnya untuk menopang kehidupannya sambil membesarkan Muhammadiyah. Sikap ini menunjukkan bahwa semangat dakwah tidak harus mengorbankan kesejahteraan pribadi secara mutlak. Namun, bagi mereka yang menjadi pekerja di AUM, kewajiban Muhammadiyah adalah memastikan mereka tidak terlantar dan memiliki hak-hak dasar yang terpenuhi.

 

Meneguhkan Kembali Prinsip Dakwah Muhammadiyah

Pernyataan KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” tetap relevan dalam konteks dakwah dan perjuangan Muhammadiyah hingga hari ini. Tetapi harus ditempatkan dalam kerangka yang benar. Dalam pengelolaan AUM, semangat perjuangan dan profesionalisme harus berjalan seiring dan berdampingan. Warga AUM didorong untuk menjaga semangat pengabdian tanpa melupakan tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang-orang yang berkontribusi di dalamnya.

Para pegawai yang mengabdi di AUM, khususnya dalam hal ini penulis berada di AUM pendidikan seperti SMP, semua warga di dalamnya harus memahami bahwa AUM merupakan sarana dakwah dan perjuangan Muhammadiyah, pendukung, dan penggeraknya. Oleh karena itu, dengan niat beribadah kepada Allah SWT, loyalitas mereka juga harus ditujukan kepada lembaga. Mereka diharapkan meniatkan perjuangan lillahi ta’ala untuk membesarkan AUM dalam rangka mendukung dakwah Muhammadiyah di waktu yang sama. Bukan sekadar memanfaatkannya sebagai tempat mencari nafkah semata. Kehadiran mereka sebaiknya disertai dengan kontribusi nyata berupa tenaga dan pemikiran untuk membesarkan Muhammadiyah dengan membesarkan AUM, bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban kerja formal semata.

Dengan memahami dan meneguhkan nilai ini, Amal Usaha Muhammadiyah dapat terus menjadi lembaga yang kokoh, tidak hanya dalam menghidupkan dakwah Muhammadiyah, tetapi juga dalam memberikan kesejahteraan yang adil bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagai penutup, penulis mempunyai satu kalimat yang bisa melengkapi atau menyempurnakan pesan KH. Ahmad Dahlan di atas. “Bekerjalah di Muhammadiyah dan besarkanlah Muhammadiyah dengannya!”. Wallahul Musta’an


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 12/XXII | Desember 2024 M/Jumadil Akhir 1446 H

Santri SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Laksanakan Pengabdian Masyarakat di Ngargoyoso



Karanganyar – Santri SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo sukses melaksanakan program pengabdian masyarakat di Desa Tanen, Kemuning, Ngargoyoso, Karanganyar, Rabu-Kamis, 18-19 Desember 2024. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini dirancang untuk melatih kemandirian, kepedulian sosial, dan semangat berbagi pada siswa.

Wakil Kepala Sekolah, Muhammad Fatkhul Hajri, M.Pd., menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan siswa dengan masyarakat dan memberikan pengalaman langsung dalam pengabdian.

“Kami ingin santri belajar berinteraksi dengan masyarakat, memberikan manfaat, dan merasakan hidup di tengah-tengah mereka. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar dan penuh antusiasme,” ujar Hajri.



Rangkaian kegiatan dimulai dengan keberangkatan santri pada Rabu siang. Setibanya di lokasi, santri disambut hangat oleh warga. Agenda sore hari meliputi mengajar TPA dan menonton film bersama santri TPA setempat. Pada malam harinya, santri bersama warga mengikuti pengajian akbar bersama Ustadz Muhammad Fatkhul Hajri, M.Pd yang diadakan di Masjid Al Falah Dusun Tanen.

Hari kedua diisi dengan aktivitas sholat subuh berjamaah, jalan-jalan edukatif ke PLTA mikrohidro, sarapan, dan membantu kegiatan industri rumah tangga warga. Selain itu, santri juga melakukan observasi di rumah-rumah warga untuk lebih memahami kehidupan mereka sehari-hari.



Kegiatan ini meninggalkan kesan mendalam bagi para santri. Beberapa di antaranya mengungkapkan rasa senang yang luar biasa.

"Kegiatannya seru banget, belajar dan bermain bersama anak-anak TPA sangat menyenangkan. Kalau bisa, kami tidak mau pulang dulu!” kata salah satu santri dengan antusias.

Komentar serupa juga disampaikan oleh santri lainnya. Mereka mengaku sangat terkesan dengan kehangatan warga dan pengalaman baru yang mereka dapatkan selama kegiatan berlangsung.

Program ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi santri untuk terus berkontribusi dalam masyarakat. Sekolah berencana menjadikan kegiatan pengabdian masyarakat ini sebagai agenda rutin tahunan.

Diuji 7 Profesor, Kepala SMP Imam Syuhodo Sukses Lulus Ujian Tertutup Disertasi


Klaten – Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Sukoharjo, Muhammad Nasri Dini, berhasil menyelesaikan ujian tertutup disertasi Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta. Sidang digelar pada Selasa, 17 Desember 2024, pukul 13.00 – 15.00 WIB di Kampus II UIN Raden Mas Said, Klaten.

Disertasi yang diangkat oleh Nasri berjudul "Manajemen Filantropi Islam dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Lembaga Amil Zakat (LAZ) Solo Peduli Ummat". Ujian ini melibatkan tujuh penguji, salah satunya adalah Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A., yang diundang sebagai penguji tamu dan juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam proses ujian, Prof. Sahiron mengapresiasi kualitas data yang disusun dalam disertasi Nasri. Meski demikian, ia memberikan masukan untuk pendalaman lebih lanjut terkait keragaman penerima manfaat program LAZ Solo Peduli Ummat.
"Data yang disajikan sudah cukup lengkap, tetapi perlu didalami lebih lanjut apakah program ini telah menyentuh berbagai kalangan, terutama dengan memperhatikan keragaman aliran keagamaan mustahik," ujar Prof. Sahiron.

Menjawab pertanyaan tersebut, Nasri menegaskan bahwa disertasinya telah mencakup data penerima manfaat yang beragam.
"Program-program pendidikan LAZ Solo Peduli Ummat tidak terbatas pada kalangan Muhammadiyah saja, tetapi juga menjangkau Nahdlatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok lainnya," jelas Nasri.

Sidang ini dipimpin oleh Prof. Dr. H. Islah, M.Ag. selaku ketua sidang, dengan Prof. Dr. H. Sujito, M.Pd. sebagai sekretaris. Adapun penguji lainnya yang hadir meliputi Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A. (Penguji I), Prof. Dr. H. Purwanto, M.Pd. (Penguji II), Prof. Dr. H. Imam Makruf, S.Ag., M.Pd. (Penguji III, sekaligus Promotor), Prof. Dr. Fitri Wulandari, S.E., M.Si. (Penguji IV, sekaligus Co-Promotor), serta Prof. Dr. Hj. Datien Eriska Utami, S.E., M.Si. (Penguji V).

Setelah seluruh rangkaian ujian tertutup selesai, Prof. Dr. H. Islah, M.Ag. selaku ketua sidang membacakan berita acara yang menyatakan bahwa Muhammad Nasri Dini dinyatakan lulus ujian tertutup disertasi.
"Selanjutnya, saudara berhak melanjutkan ke tahap ujian terbuka promosi doktor setelah melakukan perbaikan naskah sesuai masukan dari para penguji," ungkap Islah menutup sidang.

Dengan keberhasilan ini, Muhammad Nasri Dini selangkah lagi akan menyandang gelar doktor dalam bidang Manajemen Pendidikan Islam. Pencapaian ini diharapkan akan membawa kontribusi nyata bagi pengembangan filantropi dan pendidikan Islam di Indonesia.

Pesantren Muhammadiyah: Pembentuk Karakter Islami dan Benteng Pergaulan Bebas

 

Andika Rahmawan

(Guru SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo, Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PDM Sukoharjo)

 

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan derasnya arus globalisasi pada satu sisi diakui membawa dampak positif. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa di sisi lain ada dampak negatifnya pula. Salah satu kekawatiran terbesar orang tua adalah pergaulan bebas yang kiyan merajalela dan berdampak buruk pada anak-anak mereka. Di tengah situasi mengkawatirkan tersebut, pondok pesantren menjadi satu solusi yang dianggap mampu melindungi remaja generasi muda dari pengaruh buruk lingkungan. Termasuk budaya pergaulan bebas yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pondok Pesantren Muhammadiyah, sebagai bagian dari sistem pendidikan yang dikelola Persyarikatan, menawarkan pendekatan modern yang mencoba untuk menyeimbangkan pendidikan agama (IMTAK), ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), dan pembentukan karakter. Pesantren memposisikan diri tidak hanya menjadi tempat pendidikan dan pengajaran, tetapi juga benteng moral yang berusaha untuk membimbing santri agar dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam di tengah tantangan zaman yang kiyan hari semakin mengkawatirkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus pergaulan bebas dan kerusakan moral di kalangan remaja menjadi sorotan. Hal ini menimbulkan keresahan bagi orang tua yang mendambakan anak-anak mereka tumbuh menjadi generasi yang berkarakter dan berakhlak mulia. Di tambah lagi beberapa kebijakan pemerintah yang bukannya membentengi, tapi malah seakan-akan memuluskan jalan perusakan moral.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang saat itu diteken Presiden Joko Widodo yang mengatur edukasi kesehatan reproduksi untuk anak sekolah dan remaja memicu kontroversi di masyarakat. Aturan ini menuai kritik keras karena mencantumkan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja. Poin penyediaan alat kontrasepsi dalam Pasal 103 Ayat (4) huruf (e) menimbulkan kekawatiran, terutama orang tua, yang takut jika ini dapat mendorong perilaku seks bebas di kalangan remaja. Langkah pemerintah ini bertentangan dengan nilai-nilai moral secara umum, maupun ajaran agama.

Belum lagi kasus terbaru yang melibatkan 11 pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI terkait jaringan judi online yang mencuri perhatian publik. Mereka diduga menerima dana lebih dari 8 miliar rupiah per bulan untuk membekingi jaringan tersebut. Para pegawai kementerian ini memanfaatkan posisi mereka untuk melindungi operasi perjudian online yang seharusnya diberantas dan diblokir situsnya oleh kementerian terkait.

Maraknya judi online semakin memprihatinkan. Indonesia menjadi salah satu negara tertinggi penggunanya. Tercatat pemain judi online di Indonesia sebanyak 4.000.000 orang. Berdasarkan data yang diungkap pada Podcast Jumatan (Jumpa PPATK Pekanan) edisi 26 Juli 2024 bersama Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK RI Woro Srihastuti Sulistyaningrum, sekitar 2% pemain berasal dari kelompok usia di bawah 10 tahun, setara dengan 80.000 anak.

Maka pesantren Muhammadiyah ikut berusaha menjawab keresahan dengan sistem pendidikan berbasis akhlak dan nilai Islami. Pesantren Muhammadiyah tidak hanya fokus pada pengajaran ilmu agama, tetapi juga memperhatikan pendidikan karakter melalui pembiasaan pola hidup Islami. Kehidupan di pesantren juga dirancang untuk mendukung pembentukan karakter melalui pengawasan ketat dari para pendidik dan pengasuh yang membuat santri lebih fokus dalam belajar dan beribadah.

Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah (LP2M) periode lalu juga telah merumuskan 20 Nilai Budaya Pesantren Muhammadiyah pada Rakornas IV di UMS Surakarta, Agustus 2019. Ini adalah salah satu bentuk inovasi untuk Pesantren Muhammadiyah. Nilai-nilai ini dirancang untuk menciptakan iklim yang mendukung pendidikan di pesantren.

Sebagai pedoman etis, 20 Nilai Budaya Pesantren Muhammadiyah itu adalah: (1) keikhlasan; (2) tafaqquh fi ad-din wa al-‘ulum (mendalami agama dan sains); (3) tajdid (pembaruan, inovasi); (4) integritas; (5) ukhuwwah (persaudaraan); (6) disiplin; (7) mandiri; (8) moderat; (9) sederhana; (10) kerjasama; (11) istiqamah; (12) pola hidup bersih dan sehat; (13) ramah santri; (14) sopan santun; (15) gemar beramal shalih; (16) pelayanan prima; (17) percaya diri; (18) peduli lingkungan; (19) peduli ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni); dan (20) malu untuk tidak bersesuaian dengan ajaran Islam (al-haya’).

Nilai budaya ini dibuat untuk menciptakan suasana kondusif yang membantu santri menghindari pengaruh buruk pergaulan bebas. Pesantren Muhammadiyah juga menekankan pentingnya keteladanan dari para pendidik. Para ustadz, musyrif, atau pengasuh dituntut menjadi contoh dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Keteladanan menjadi salah satu cara efektif dalam menanamkan nilai-nilai Islami kepada para santri. Selain membentuk karakter, pesantren juga memberikan perhatian besar pada pendidikan akademik. Kurikulum Pesantren Muhammadiyah mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan modern. Santri tidak hanya diajarkan tentang Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga ilmu sains, teknologi, dan keterampilan hidup lainnya.

Pesantren Muhammadiyah juga menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung aktivitas santri, seperti ruang belajar, asrama yang nyaman, tempat ibadah, dan fasilitas olahraga. Semua ini dirancang untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mendukung pengembangan potensi santri.

Untuk mencegah perilaku pergaulan bebas di kalangan santri, diperlukan upaya strategis melalui pengadaan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang positif dan bermanfaat. Dengan berbagai pilihan kegiatan, seperti olahraga, seni, sains, kepemimpinan, keterampilan hidup, hingga kegiatan sosial, santri dapat tersibukkan dalam aktivitas yang produktif. Di Pesantren muhammadiyah setidaknya wajib ada berbagai organisasi seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Hizbul Wathan, Tapak Suci dan Kokam yang akan memfasilitasi itu semua.

Kesibukan ini tidak hanya mengisi waktu luang mereka, tetapi juga memberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat dan potensi. Selain itu, aktivitas tersebut membangun rasa tanggung jawab, kerja sama, dan disiplin, sehingga para santri tidak memiliki ruang atau waktu untuk terlibat dalam kegiatan negatif yang merusak moral.

Pesantren juga memiliki program penghargaan untuk memotivasi santri. Santri yang berprestasi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, diberikan apresiasi sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka. Hal ini mendorong santri untuk terus berkompetisi dan berprestasi. Muhammadiyah punya Olimpiade Ahmad Dahlan (OlimpicAD) yang diselenggarakan berjenjang dari tingkat kabupaten hingga nasional, ada pula ajang Olimpiade Muhammadiyah Berprestasi Nasional (OMBN) yang diselenggarakan secara nasional.

Tidak kalah penting, Pesantren Muhammadiyah juga mempromosikan nilai moderasi dalam beragama. Santri diajarkan untuk memahami Islam secara mendalam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan menyesuaikan pada situasi dan kondisi. Pendekatan ini menjadikan santri mampu menghadapi tantangan globalisasi tanpa kehilangan identitas sebagai seorang muslim.

Namun, pesantren juga tidak terlepas dari tantangan. Beberapa kasus kekerasan fisik, perundungan, dan pelanggaran di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, diakui masih menjadi pekerjaan rumah. Pesantren Muhammadiyah menjawab tantangan ini dengan menerapkan sistem pengawasan yang ketat untuk menjaga lingkungan pendidikan bebas dari kekerasan. Alhamdulillah selama ini jarang kita dengar atau bahkan mungkin tidak ada kasus yang mengaitkan dengan lembaga Pesantren Muhammadiyah.

Keberhasilan Pesantren Muhammadiyah juga tercermin dari para alumninya yang mampu berkontribusi di berbagai bidang. Mereka tidak hanya mumpuni dalam ilmu agama, tetapi juga kompeten dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dapat bersaing di tengah masyarakat. Di antara indikasinya adalah banyaknya alumni pesantren yang tidak hanya dapat melanjutkan pendidikan pada universitas unggulan di dalam negeri, tapi juga banyak yang melanjutkan pendidikan di luar negeri, tidak hanya di timur tengah, tapi juga ada yang di dunia barat.

Di tengah maraknya pengaruh negatif dari pergaulan bebas, Pesantren Muhammadiyah tetap berusaha sekuat tenaga menjadi benteng yang kokoh dalam menjaga moral generasi muda. Sistem pendidikan berbasis nilai-nilai Islam yang diterapkan menjadikan pesantren ini sebagai model pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman.

Orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke pesantren ini bisa merasa lebih tenang karena yakin bahwa anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang menyeluruh. Tidak hanya aspek intelektual yang dikembangkan, tetapi juga aspek spiritual dan emosional. Muhammadiyah juga tergolong unik, dari 400an pesantren yang dimiliki saat ini, di sana terdapat banyak varian pesantren yang bisa dipilih sesuai minat anak maupun kecenderungan orang tua, seperti pesantren berbasis kitab kuning (turats), pesantren berbasis bahasa (Arab dan Inggris), pesantren sains, pesantren tahfizh (Al-Qur’an dan Hadis), pesantren entrepreneur/wirausaha, dan yang lainnya.

Dalam lingkungan pesantren, santri juga diajarkan untuk memiliki rasa malu jika melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ini sejalan dengan pesan Nabi SAW, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Al-Bukhari). Nilai ini menjadi benteng moral yang kuat dalam menjaga mereka dari pengaruh buruk lingkungan luar.

Pesantren Muhammadiyah adalah bukti bahwa pendidikan berbasis Islam dapat menjadi solusi atas berbagai tantangan sosial, termasuk pergaulan bebas. Dengan nilai-nilai Islam dan ideologi Muhammadiyah yang kokoh, pesantren dapat berkontribusi dalam membangun generasi yang tidak hanya cerdas dunia, tetapi juga berakhlak mulia dan cerdas akhirat.


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 12/XXII | Desember 2024 M/Jumadil Akhir 1446 H

Seminar Motivasi Sukses: Together We Are Stronger



✨ "Together We Are Stronger" ✨
Mari bergabung dalam seminar motivasi spesial bersama Coach Fikri Abdillah, S.Psi, Trainer Nasional BNSP dan Owner Bright Cordova Indonesia!
💡 Tema: Motivasi Sukses: Together We Are Stronger
📆 Sabtu, 14 Desember 2024
⏰ Pukul 09.00 WIB - selesai
📍 GOR Pondok Imam Syuhodo Putri
Seminar ini ditujukan untuk siswa dan orang tua Kelas 9 dari MTs Muhammadiyah Blimbing dan SMP Imam Syuhodo.
Jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan inspirasi dan motivasi luar biasa demi sukses bersama!
📲 Info lebih lanjut:
📞 0812 2659 2464 (Muh. Yanuar)