Kami
merasakan beratnya amanah dan tanggung jawab terhadap masalah Palestina. Ini
adalah tanggung jawab yang memiliki harga, dan kami siap untuk membayar harga
tersebut; syahid di jalan Palestina, di jalan Allah, dan demi kehormatan umat
ini.”
(Ismail
Haniyah)
Ismail Haniyah, lahir pada 18 Mei 1963 di
kamp pengungsi al-Syati, Jalur Gaza (yang saat itu dikuasai Mesir), adalah mujahid
simbol ketangguhan dalam perjuangan kemerdekaan Palestina. Lahir dalam kondisi
yang penuh dengan penderitaan akibat penjajahan, ia tumbuh di tengah perlawanan
rakyat Palestina yang berjuang untuk mendapatkan kembali tanah air mereka. Dari
kehidupan awalnya di kamp pengungsian, hingga menjadi salah satu pemimpin
paling berpengaruh di gerakan Hamas (Harakat al-Muqawamat al-Islamiyyah),
Haniyah menunjukkan perjuangan yang tak tergoyahkan terhadap pembebasan tanah Palestina.
Sejak masa mudanya, Haniyah telah
menunjukkan bakat kepemimpinan dan kecintaannya terhadap bangsanya. Saat menjadi
mahasiswa di Universitas Islam Gaza, ia telah bergabung dengan Ikhwanul
Muslimin, sebuah gerakan Islam yang kemudian menjadi fondasi berdirinya Hamas.
Pada tahun 1987, ia lulus dengan gelar sarjana Sastra Arab. Ini adalah awal
dari perjalanan panjangnya menjadi salah satu tokoh utama dalam perjuangan pembebasan
Palestina. Komitmennya yang mendalam terhadap rakyat Palestina tampak jelas
sejak masa itu, di mana ia mulai terlibat aktif dalam aktivitas politik dan
perjuangan demi kemerdekaan rakyat Palestina.
Intifadah pertama yang pecah pada tahun
1987 menjadi momen penting dalam hidup Haniyah. Bersama dengan pejuang-pejuang
Palestina lainnya, ia aktif terlibat dalam perlawanan terhadap pendudukan
Israel. Perjuangannya saat itu menjadi bukti awal dari komitmennya yang tak
kenal lelah untuk kemerdekaan rakyat Palestina. Haniyah tidak hanya berjuang di
medan politik, tetapi juga di lapangan, menghadapi tantangan dan penangkapan
berulang kali oleh pasukan penjajah Israel.
Pada tahun 1989, Haniyah ditangkap dan dipenjara
selama tiga tahun oleh Israel. Selama di penjara, ia tidak pernah menyerah pada
tekadnya untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Setelah dibebaskan, ia
bersama ratusan aktivis lainnya, termasuk Abdul Aziz al-Rantissi, Mahmud
Zahhar, dan Aziz Duwaik sempat dideportasi ke Lebanon. Deportasi ini tidak
membuatnya gentar, sebaliknya ia kembali ke Jalur Gaza pada tahun 1993 dan
melanjutkan perannya dalam perjuangan dengan memimpin Universitas Islam Gaza
sebagai dekan, yang menjadi benteng intelektual dan ideologis bagi perjuangan
Hamas.
Ismail Haniyah dikenal sebagai murid
dari Syaikh Ahmad Yasin, pendiri Hamas. Bimbingan dari Syaikh Ahmad Yasin
membantu Haniyah dalam memahami visi besar Hamas dan menjadikannya salah satu
pemimpin terdepan gerakan Islam tersebut. Pada tahun 1997, ia ditunjuk menjadi
kepala biro Hamas, posisi yang semakin memperkokoh perannya sebagai pemimpin
perjuangan rakyat Palestina. Kepercayaan
yang
diberikan kepadanya membentuk fondasi kepemimpinan Haniyah dalam menjalankan misi
Hamas di kancah perlawanan Palestina.
Intifadha kedua pada 2000-2005 turut
melejitkan nama Ismail Haniyah. Seiring dengan itu, militer Israel kian
menggencarkan operasi untuk membunuh tokoh sentral Hamas ini. Pada 2003, ia diselamatkan
Allah dari serangan udara yang dilancarkan oleh Israel. Meskipun selalu menjadi
target pembunuhan, Haniyah tidak pernah mundur dari perjuangannya dan terus
memimpin gerakan perlawanan Palestina. Upaya untuk menghabisinya tidak pernah
menyurutkan semangatnya dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Kesungguhannya
dalam berjihad di jalan Allah di tengah ancaman kematian menjadikannya simbol
perjuangan bagi rakyat Palestina.
Kemenangan Hamas dalam pemilu
legislatif Palestina pada tahun 2006 menjadi salah satu puncak karir politik
Haniyah. Hamas, dengan asas perjuangan yang menonjolkan pada perlawanan rakyat
Palestina, berhasil meraih kemenangan besar. Sebagai hasilnya, Haniyah diangkat
sebagai Perdana Menteri Palestina. Namun, kemenangan ini tidak diterima dengan
baik oleh Fatah, rival politik Hamas. Pada tahun 2007, Mahmoud Abbas memecat
Haniyah dari jabatannya, yang menyebabkan friksi politik Hamas-Fatah terus
berlanjut dan berkepanjangan.
Meski dicopot dari posisinya, Haniyah dan
Hamas terus memimpin pemerintahan Palestina secara de facto di Jalur Gaza. Di
bawah kepemimpinannya, Jalur Gaza menjadi simbol perlawanan rakyat Palestina
atas penjajahan Israel. Haniyah menunjukkan keteladanan dengan tetap berada di
garda terdepan perjuangan, meskipun menghadapi blokade, serangan militer, dan
tekanan politik dari dalam dan luar negeri.
Pada tahun 2017, Haniyah diangkat
sebagai pemimpin biro politik Hamas, menggantikan Khalid Mashal. Sejak itu pula
dirinya menetap di Qatar. Peran barunya ini semakin memperkokoh posisinya
sebagai pemimpin spiritual dan politik bagi Hamas serta rakyat Palestina. Di
tengah tekanan dari komunitas internasional, Haniyah tetap teguh mempertahankan
prinsip perjuangan rakyatnya, menolak upaya normalisasi dengan Israel yang
tidak mengakui hak-hak Palestina.
Selama lebih dari tiga dekade, Haniyah
dikenal sebagai sosok yang tegas namun penuh kasih sayang. Ia adalah ayah dari
13 anak, dan kehidupannya sebagai seorang kepala keluarga mencerminkan
nilai-nilai kepemimpinan yang ia terapkan dalam perjuangan politiknya. Sayangnya,
tiga anak Haniyah syahid pada tahun 2024 dalam serangan Israel di Jalur Gaza,
menambah deretan duka keluarga Palestinya yang tak terhitung.
Kepahlawanan Haniyah tak hanya terbatas
pada arena politik. Ia adalah simbol keteladanan dalam memperjuangkan hak-hak kemerdekaan
rakyat Palestina di berbagai forum internasional. Pada tahun 2023, ketika
terjadi genosida di Gaza akibat serangan besar-besaran Israel, Haniyah
memberikan pidato yang menyentuh hati. Ia menegaskan bahwa perjuangan rakyat Palestina
bukan sekadar masalah politik, tetapi masalah moral yang harus diakui oleh
dunia.
Pada Rabu 31 Juli 2024, dunia
dikejutkan oleh kabar duka, Ismail Haniyah wafat dalam sebuah serangan di
Teheran, Iran. Hamas mengonfirmasi bahwa serangan tersebut dilakukan oleh
Zionis saat Haniyah berada di kediamannya setelah menghadiri upacara pelantikan
presiden baru Iran. Syahidnya Haniyah menandai hilangnya salah satu pemimpin
paling berpengaruh dalam sejarah modern Palestina.
Dunia Islam berduka atas kehilangan Ismail
Haniyah, salah satu pemimpin paling berpengaruh dalam perjuangan Palestina.
Sebagai simbol keteguhan dan perlawanan terhadap penindasan, kepergiannya
meninggalkan kesedihan yang mendalam di kalangan pejuang dan umat Islam yang
mendambakan keadilan bagi Palestina. Haniyah tidak hanya dikenal sebagai
pemimpin Hamas, tetapi juga sebagai sosok yang konsisten memperjuangkan hak-hak
rakyat Palestina di tengah tekanan global.
Kepergiannya menjadi kehilangan besar
bagi dunia Islam yang selalu memandangnya sebagai pahlawan dan teladan dalam
perjuangan melawan ketidakadilan. Mantan Wakil Presiden RI dua periode, HM
Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) bersama mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menghadiri pemakaman Ismail Haniyah
di Doha, Qatar. Keduanya juga ikut menshalatkan Haniyah di Masjid Imam Muhammad
bin Abdul Wahhab sebelum dimakamkan. Ormas-ormas Islam, termasuk Persyarikatan
Muhammadiyah dalam media-media resminya juga menyampaikan duka cita yang
mendalam atas wafatnya Haniyah.
Bagi rakyat Palestina, Haniyah bukan
hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga seorang pahlawan
yang memberikan hidupnya untuk agama dan tanah airnya. Kepemimpinannya,
ketabahannya dalam menghadapi berbagai cobaan, serta perjuangannya untuk
mewujudkan kemerdekaan Palestina membuatnya menjadi teladan bagi generasi
mendatang.
Kisah hidup Haniyah adalah simbol
perlawanan Palestina yang tidak akan pernah pudar. Dari kamp pengungsi di Gaza
hingga kepemimpinan puncak Hamas, ia menunjukkan bahwa perjuangan untuk
kebebasan adalah perjalanan panjang yang penuh dengan pengorbanan. Ismail
Haniyah kini telah syahid, tetapi semangat dan keteladanannya akan terus hidup
di hati rakyat Palestina dan pejuang kemerdekaan di seluruh dunia.
Warisan Asy Syahid Ismail Haniyah akan tetap abadi. Sebagai seorang pemimpin yang berjuang di jalan Allah tanpa kenal lelah, ia telah meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah Palestina. Kepahlawanannya menginspirasi perlawanan dan harapan, bahwa suatu hari nanti Palestina akan merdeka dan rakyatnya akan kembali damai di tanah air yang telah lama dirindukan. [M. Nasri Dini/dari berbagai sumber]
*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 2/XXIII - Februari 2025 M / Sya'ban 1446 H
Tidak ada komentar: