SYARIAH PUASA DARI NABI KE NABI
Oleh:
H. Bimawan Syamsudin, S.P
Wakil
Sekretaris PDM Sukoharjo
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Di bulan
Ramadhan, hampir setiap penceramah memakai muqaddimahnya dengan
ayat ini. Berbagai hal yang terkait
dengan puasa pun telah dibahas tuntas. Namun, ada satu topik
yang sepertinya masih jarang diangkat,
yakni bagaimana puasanya umat-umat terdahulu,
seperti diungkap dalam penggalan ayat di atas, “sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu.”
Para
ulama berbeda pendapat mengenai maksud ayat,
“sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,” di atas.
Pertama: Muadz
bin Jabal dan ’Atha’
berpendapat bahwa kesamaan
itu terbatas dalam hal bahwa umat
terdahulu
juga diwajibkan puasa. Bahwa seluruh
nabi
sejak Nabi Adam ‘alaihis salam yang diutus kepada umatnya selalu
membawa perintah berpuasa.
Sedangkan bagaimana tata cara
berpuasa
masing-masing umat itu, tidak tercakup dalam ayat ini. Karena tata cara
berpuasa tiap umat berbeda-beda. Maka membacanya menjadi: “sebagaimana kewajiban
itu juga dibebankan kepada umat sebelum kamu”.
Kedua: Bahwa
kesamaannya bukan hanya dalam hal kewajiban berpuasa, namun juga termasuk
bagaimana tata cara berpuasanya. Maka membacanya menjadi: “sebagai cara
berpuasanya umat sebelum kamu”.
Dalam hal ini ada dua pandangan, yaitu cara berpuasa yang dimaksud adalah puasa
di bulan Ramadhan, dan yang kedua adalah haramnya makan, minum dan jima’ di
malam hari yang merupakan tata cara berpuasa orang terdahulu.
Puasanya Umat Nabi Isa ‘alaihis salam
Jika penekanannya adalah,
“sebagai cara berpuasanya umat sebelum kamu” maka maksudnya adalah kaum
Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan di mana waktu dan lamanya
sama seperti puasa yang difardhukan kepada kita.
صِيَامُ رَمَضَانُ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى أُمَمٍ
قَبْلِكُمْ
“Puasa
Ramadhan telah
Allah wajibkan atas umat-umat
sebelummu.”
(HR. Ibnu Abi Hatim)
Ath-Thabari
dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari As-Suddi. Ia menyatakan, “Maksud
orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa
Ramadhan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur (dari waktu isya
hingga waktu isya lagi), juga tidak boleh bergaul suami-istri. Rupanya, hal itu
cukup memberatkan bagi kaum Nasrani. Melihat kondisi itu, akhirnya para Rahib kaum
Nasrani sepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim,
hingga mereka mengalihkannya ke pertengahan musim panas dan musim dingin.
Mereka mengatakan, ‘Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa
kita sebanyak dua puluh hari.’ Dengan begitu, puasa mereka menjadi 50 hari.
Karena
perilaku rahib-rahib itulah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya:
ٱتَّخَذُوٓا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا
مِّن دُونِ ٱللَّهِ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Saat awal-awal
disyariatkannya puasa Ramadhan di Madinah,
tradisi Nasrani itu (tidak makan-minum dan tak bergaul suami istri) masih
dilakukan oleh kaum Muslimin. Sampai ada
peristiwa yang dialami oleh Qais ibn Shirmah
dan Umar bin
Khathab. Siapa Qais ibn Shirmah, sorang sahabat
Nabi dari kalangan Anshor, yang berpuasa
dan belum sempat berbuka sudah ketiduran, dan besok harinya harus puasa lagi,
sampai akhirnya pingsan. Sedangkan Umar
bin Khattab, di malam bulan Ramadhan, setelah tidur tidak sadar menggauli
istrinya. Maka sebagai
jawaban Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menurunkan surah Al-Baqarah ayat 187, membolehkan mereka makan, minum, bergaul suami-istri,
hingga waktu fajar.”
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى
نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ
اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ
وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ
لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى
الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِۗ تِلْكَ
حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
“Dihalalkan
bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu
dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat
menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka,
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan)
beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
agar mereka bertakwa”. (QS. Al-Baqarah[2]:187)
Ibnu Katsir
menjelaskan, “Ayat ini merupakan kemurahan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala untuk umat Islam dengan mengangkat hukum yang berlaku pada periode
awal Islam. Dulu, ketika salah satu dari umat Islam berbuka puasa kebolehan
makan, minum dan berhubungan suami-istri hanya diperbolehkan sampai pelaksanaan
shalat Isya’ atau sebelum tidur. Ketika seseorang tidur atau melaksanakan
shalat Isya’ maka haram baginya makan, minum dan berhubungan suami-istri hingga
malam setelahnya. Kemudian mereka merasakan rasa payah yang besar”. (Ibnu Katsir,
Tafsirul Qur’anil Azhim)
Puasanya Bani Israil
Ada pula yang
berpendapat bahwa maksud orang-orang sebelum kita adalah Ahli Kitab, dalam hal
ini adalah kaum Yahudi, sebagaimana dalam riwayat Mujahid dan Qatadah. Dalam
riwayatnya, Qatadah mengungkapkan, “Puasa Ramadhan telah diwajibkan kepada
seluruh manusia, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka.
Sebelum menurunkan kewajiban Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan
kewajiban puasa tiga hari setiap bulannya.”
Namun demikian, status
wajib puasa tiga hari ini ditolak oleh sahabat yang lain. Menurut mereka, puasa
tiga hari yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu
bukan wajib, melainkan sunnah. Pasalnya, tidak ada riwayat kuat yang dijadikan
hujjah bahwa ada puasa wajib sebelum puasa Ramadhan yang diberikan kepada umat
Islam. Kendati ada puasa yang wajib sebelum Ramadhan, maka ia sudah dihapus
(mansukh) dengan kewajiban puasa Ramadhan. Demikian seperti yang dikemukakan
dalam Tafsir Ath-Thabari.
Dalam riwayat lain,
selain puasa tiga hari dalam sebulan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
menjalankan puasa ‘Asyura, yakni puasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang
Yahudi pada 10 Muharram. Bahkan, kaitan dengan puasa ‘Asyura ini, Ibnu ‘Abbas
meriwayatkan,
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا
هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ
بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke kota Madinah. Beliau kemudian melihat orang
Yahudi puasa pada hari Asyura'. Lalu Rasul bertanya 'Ada kegiatan apa ini?'
Para sahabat menjawab 'Hari ini adalah hari baik yaitu hari di mana Allah
menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka kemudian Nabi Musa melakukan puasa
atas tersebut.' Rasul lalu mengatakan 'Saya lebih berhak dengan Musa daripada
kalian'. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura' tersebut dan menyuruh pada
sahabat menjalankannya. (HR. Bukhari)
Puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam
Selanjutnya, puasa
orang-orang terdahulu juga dapat dilacak dari sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sewaktu
ditanya oleh seorang laki-laki, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang
berpuasa satu hari dan berbuka satu hari?” Beliau menjawab, “Itu adalah
puasanya saudaraku, Dawud ‘alaihis salam.”
Bahkan dalam hadits
lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
أَفْضَلُ الصَّوْمِ صَوْمُ أَخِي دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ
يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sebaik-bainya
puasa adalah puasa saudaraku, Dawud ‘alaihis salam. Ia berpuasa satu hari dan
berbuka satu hari,”
(HR. Ahmad)
Berdasar hadits di
atas, Nabi Dawud ‘alaihis salam juga memiliki kebiasaan berpuasa selang sehari.
Puasa itu kemudian disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya.
Demikian halnya puasa ‘Asyura dan puasa “ayyamul bidl”.
Puasa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
Ath-Thabrani
menuturkan, Abu Zanba’ Rauh bin Faraj bercerita kepada kami, Umar bin Khalid al-Harani
bercerita kepada kami, Ibnu Lahi’ah bercerita kepada kami, dari Abu Qatadah,
dari Yazid, dari Rabbah bin Abu Faras, ia mendengar Abdullah bin Umar berkata,
aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Nuh berpuasa
sepanjang tahun, kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha, Dawud berpuasa separuh
tahun, dan Ibrahim berpuasa tiga hari tiap bulan, ia berpuasa sepanjang tahun
dan berbuka sepanjang tahun.” (Qishosul Anbiya, Ibnu Katsir)
Dari uraian di atas,
dapat ditarik dua kesimpulan besar mengenai penggalan ayat “sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” Sebagian mengatakan, maksud ayat itu
adalah adanya kesamaan kewajiban puasa antara umat terdahulu dengan umat Islam.
Sedangkan waktu, cara, dan lamanya tentu saja berbeda, seperti puasa Dawud,
puasa ‘Asyura bagi umat Yahudi, puasa “ayyamul bidl” yang biasa dilaksanakan
Nabi Nuh, dan Rasulullah sebelum turun perintah puasa Ramadhan.
Ada lagi yang
menafsirkan adanya kesamaan kewajiban puasa, baik waktu maupun lamanya, seperti
puasa Ramadhan bagi umat Nasrani. Mereka wajib menjalankannya pada Ramadhan
selama 30 hari, namun karena keberatan kemudian mereka mengalihkannya ke
pertengahan musim panas dan dingin dengan penambahan hari. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar: